Wednesday, October 11, 2006
SIAPA TAKUT !!!
Dimuat dalam buletin provokashi edisi 04/I/Juli-September 2001
Dalam edisi kali ini redaksi mengajak bincang-bincang bersama Bang Sebastianus, ketua KPK cabang Sidoarjo. Dalam kesempatan ini Pak Tua, panggilan akrap Bang Sebastianus bercerita tentang pengalamannya menjalani dinamika hidup di Surabaya yang keras.
Sebastianus namaku. Aku pergi meninggalkan rumahku di Flores tanpa sebuah perencanaan yang panjang. Kepergianku lebih merupakan bentuk pemberontakanku terhadap keadaan yang menekanku, jadi bukan karena suatu motivasi tertentu. Sejak aku masih SMP aku sudah jauh dari orang tua dan setelah lulus SMA tahun 1991 ingin sekali aku hidup merantau. Maka ketika aku mau diserahi tanggung jawab untuk turut mengatur keluarga, aku berontak. Tahun 1993 aku memutuskan untuk pergi dari rumah, tidak mau di kampung. Tetapi aku tidak merencanakan mau merantau ke Jawa atau Kalimantan. Pada orang tuaku hanya pamit bahwa aku merantau. Aku singgah di Sumbawa selama satu minggu. Kawanku menanyakan ke mana aku mau merantau ketika kami sampai di agen bis. Aku bilang “terserah saja” Aku tidak punya rencana. Saat itu ada dua pilihan Ujung Pandang atau Surabaya. Akhirnya temanku yang memutuskan dan membelikan tiket ke Surabaya. Dengan bekal Rp 200.000,- aku melanjutkan perrjalanan ke Surabaya.
Perjalananku ke Surabaya menjadi sebuah petualangan yang menarik bagiku, karena aku tidak tahu-menahu soal Surabaya namun berani untuk menjelajahinya. Sampai di Bungurasih (terminal bus Surabaya, red) aku bertanya sana-sini. Akhirnya aku bertemu dengan seorang ibu yang bercerita bahwa aku bisa bertemu dengan orang-orang Flores di daerah Sidoarjo. Tapi ibu itu mengajak aku untuk pulang ke rumahnya Lawang-Malang terlebih dahulu karena hari masih pagi, sekitar pukul 06.00. Di Lawang, aku dititipkan pada adiknya karena takut kalau nanti suaminya cemburu. Siang harinya aku diantar oleh ibu itu menuju Buduran-Sidoarjo. Di Buduran, kemudian aku tinggal bersama teman saya dari Flores. Tentu aku tidak dapat hidup, tanpa bekerja apalagi di kota Surabaya ini. Aku mulai berpikir soal pekerjaan. Kawanku mau menolongku dan dia mulai bertanya tentang surat-surat keterangan dari kampung. Hanya saja pada waktu itu aku tidak membawa surat apapun. Aku hanya membawa ijazah SD, SMP dan SMA yang aku miliki. Akhirnya dengan bekal seadanya itu, aku dicarikan pekerjaan.
Tahun 1993, pertama kali aku bekerja di PT Ratna Pura yang bergerak di bidang pengolahan kayu. Tanpa surat macam-macam, aku masuk dengan dibawa oleh kawanku yang bekerja di tempat itu. Ketika aku bekerja selama 3 minggu, aku sudah mulai merasakan beban yang berat. Tetapi aku tetap mencoba bertahan untuk mempertahankan hidup, uang bekalku tinggal Rp 60.000. Upah yang kuterima dari kerjaku sebesar Rp 1.950,- per hari. Aku terhibur bekerja di tempat ini karena banyak teman-teman perempuannya. Ketika hari raya aku mendapatkan THR sebesar Rp 18.000,-. Di perusahaan ini aku pernah juga kena SP karena aku sempat memukul teman. Enam bulan aku bekerja di tempat itu, aku terlibat dalam aksi buruh untuk minta kenaikan gaji menjadi Rp. 2.250,- per hari. Campur tangan militer pada waktu itu begitu kuat. Ketika aku memimpin aksi, aparat ikut masuk dalam urusan perusahaan. Pada saat proses dialog, aparat ikut duduk satu meja. Kalau pihak depnaker yang datang masih kuanggap wajar, tapi ini polisi dan tentara, apa urusan mereka? Kawan-kawan beraksi diam semuanya. Ternyata pihak perusahaan jengkel dan marah-marah, katanya “kalian ini demo-demo tapi sampai di sini diam semua”. Lalu aku ngomong, “Pak kalau bapak menghendaki kami bicara kami akan bicara, tapi sebelumya Bapak lihat nggak kenapa kawan-kawan di sini diam semua. Seharusnya ini menjadi pertanyaan buruk bagi bapak, kenapa saat ini mereka diam semua padahal kemarin-kemarin mereka lancar kalau bicara sama Bapak. Pak mereka diam itu karena mereka takut pada Pak polisi dan tentara yang ikut di duduk di sini. Maka kalau bapak menghendaki kami berani bicara, ya tolong Pak polisi dan tentara ini disuruh keluar saja”. Aku bilang begitu tentaranya marah-marah dan membentak-bentak aku. Dia bilang, “heh siapa namamu ? Kamu orang mana? Mana KTP-mu?” Aku menjawab, “lho Bapak tidak berhak nanya-nanya macam itu apalagi tanya KTP. Di sini Bapak adalah tamu dan saya di sini adalah anggota rumah tangga perusahaan ini, jadi bukan hak Bapak untuk tanya-tanya tentang KTP. Kecuali kalau saya berurusan di luar perusahaan ini mungkin Bapak punya hak untuk itu”. Akhirnya dari aksi ini adalah diputuskannya bahwa upah naik menjadi Rp 2250,- dan masa kerja empat bulan menerima gaji bulanan. Dalam aksi ini aku sempat ditegurkan oleh kawanku yang memasukkan aku di perusahaan “kenapa kamu ikut-ikut bicara?”. Aku menjawab “aku hanya memberitahukan apa yang menjadi keinginan teman-teman”. Selama setahun aku bekerja di tempat ini. Sampai kemudian aku ditawari oleh kawanku yang lain untuk menjadi satpam di sebuah restauran Pujasera di Surabaya.
Gaji menjadi seorang satpam lumayan. Sebulan aku mendapatkan sekitar Rp 135.000,- per bulan. Penghasilanku menjadi lumayan banyak, sebab selain gaji aku masih sering mendapatkan ceperan (tip, red) dari para tamu. Bosku memang tidak menghendaki kalau aku menerima tip dari para tamu. Tapi bagiku, mereka memberi tip adalah sebagai ungkapan terima kasih karena aku telah menjaga mobil mereka. Maka aku terima saja pemberiannya.
Tanggung jawabku sebagai seorang satpam memang sangat berat, karena menyangkut keselamatan para tamu dan keamanan restaurant. Setiap malam yang kuhadapi adalah para pemabuk yang berusaha masuk lingkungan restaurant tempatku bekerja. Pernah juga aku berselisih dengan bos karena dia sempat melontarkan kalimat bahwa aku bekerja di sini adalah untuk cari makan. Aku sangat tersinggung dengan perkataan itu. Aku datang merantau ke Surabaya ini bukan semata-mata hanya cari makan. Di Flores makanan cukup. Sifat emosionalku membuatku sangat marah sampai kupukul dia pakai senter. Aku suka memukul, tapi pasti disebabkan aku merasa pada sesuatu yang benar. Teman-temanku yang juga berasal dari daerah timur, yakni Ambon, Irian, Kupang mendukungku dalam kasus ini. Akhirnya aku dipanggil bos, dia minta maaf sambil ngasih uang Rp. 10.000,- Di tempat kerjaku ini aku mendapat banyak uang, tapi kemudian hidupku jadi tidak bagus karena kemudian aku menggunakan uangku untuk apa saja, ke hal-hal yang tidak bagus. Aku berhenti bekerja karena restaurant itu bangkrut. Dari sini aku mendapatkan pesangon Rp 50.000,. Aku mau menerimanya sebagi ungkapan penghargaanku pada pemilik restaurant. Kalau tempat kerjaku itu sebuah perusahaan pasti aku akan menuntut pesangon. Akhirnya, aku kembali menganggur selama satu bulan, tapi waktu itu aku berhasil memiliki tabungan 1,5 juta rupiah dari hasil kejaku sebagi satpam.
Kemudian aku mendapatkan pekerjaan dari tawaran seorang teman. Aku dibawanya untuk bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di maritivi (mebel yang terbuat dari besi atau kayu, red). Di tempat ini aku minta pindah sampai tiga kali. Semula aku ditempatkan di bagian pencelupan besi ke larutan HCL (Asam Clorida yang sifatnya sangat korosif, red). Larutan ini sangat berbahaya karena begitu kena di kulit pasti kulit mengelupas, kalau kena baju maka baju itu langsung bolong. Lenganku hancur dan luka-luka sudah penuh nanah ketika aku minta pada personalia untuk pindah bagian. Awalnya aku disuruh mengundurkan diri saja kalau tidak mau melanjutkan kerja dan akan diberi surat pengalaman kerja. Suatu tantangan yang kuberikan pada personalia, kalau aku diminta mengundurkan diri maka perusahaan harus mengganti kerugian padaku yakni 3 bulan gaji karena kontrakku 3 bulan. Akhirnya aku dipindah ke bagian lain. Di papan pengumuman tertulis : “Sebastianus dipindahkan di bagian asembling”. Aku pikir di bagian asembling itu mengerjakan apa ? Ternyata di bagian ini aku menjadi semakin ngeri. Yang aku lihat tempat itu adalah tempat penyampuran semen dengan pasir dengan peralatan raksasa yang bernama molen. Kulihat peralatannya, ada perangkat besi batangan yang siap nyabet apapun. Aku pikir, aku bekerja adalah untuk cari hidup bukan cari mati. Maka kuketuk lagi pintu ruangan personalia dan aku minta mengundurkan diri. Aku hanya bertahan selama 3 minggu dengan mendapatkan gaji Rp 4.250,- per hari tanpa uang makan, uang transport dsb.
Masa tidak punya pekerjaan membuatku mengiyakan saja ketika ada teman yang menawari aku untuk bekerja di sebuah proyek. Waktu itu proyek yang dikerjakan adalah pembangunan gedung BCA dekat pom bensin Jembatan Merah Plaza. Aku bekerja di bagian plamir (melapisi dinding sebelum mau dicat, red) dengan gaji Rp 7.500,- per hari tanpa uang makan dsb. Sebagai imbalannya aku harus terpaksa merelakan mataku kemasukan debu gosokan dinding. Akhirnya aku berpikir bisa-bisa mataku buta kalau terus-terusan begini, belum lagi celana yang kotor oleh debu susah dibersihkan. Pada saat terima gaji, aku pun berpamitan pada bos dan tidak kerja lagi.
Tahun 1995 atas jasa temanku, aku mendapatkan pekerjaan di PT PAR yang bergerak di bidang pembuatan kardus. Di tempat kerjaku yang sekarang, aku pun tetap masih menggunakan prinsip kalau aku benar maka aku tidak takut. Semula aku aktif dalam kegiatan persekutuan doa yang diadakan di perusahaan. Tapi lama kelamaan aku merasa bahwa aku tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kalangan buruh karena dalam persekutuan doa itu aku selalu diberi ajaran bahwa semua bisa diselesaikan dengan berdasarkan firman. Empat tahun aku bekerja di situ aku tidak tahu apa-apa. Maka kuputuskan aku untuk keluar dari kegiatan persekutuan doa. Pada suatu saat kawan-kawan menginginkan adanya SB, maka muncullah ide untuk membentuk Sarbumusi di perusahaan tempatku bekerja. Pada mulanya aku tidak setuju dengan pembentukan Sarbumusi karena membawa-bawa nama agama. Tapi kawan-kawan bilang bahwa agama tidak dimasukkan dalam organisasi ini, tapi oragnisasi ini lebih dipakai untuk membela buruh. Akhirnya terbentuklah Sarbumusi. Permasalahan pertama yang ditangani oleh Sarbumusi adalah desakan kawan-kawan menuntut pemberian THR sebesar 2 kali gaji pokok (UMR). Ini terjadi pada tahun 2000 yang lalu. Sebagai pemimpin aksi aku minta kawan-kawan untuk tidak main lempar-lemparan. Ternyata benar aksi ini aksi damai, tidak ada yang rusak. Tapi penyelesaian dari perusahaan cukup lama. Aku sebagai juru bicara kawan-kawan sempat diundang oleh pihak personalia di Hotel Utami. Aku bilang pada bos “persoalan buruh di selesaikan di depan teman-teman saja. Saya tidak mau kalau saya nanti diperlakukan seperti Marsinah!” Akhirnya tuntutan kami tercapai meskipun tidak seratus persen. Perusahaan menetapkan THR sebesar 1,5 kali UMR ditambah dengan bonus sebesar Rp 20.000 x setiap kelipatan 1 tahun masa kerja.
Saat ini aku baru merasa jengkel dengan SB di perusahaan tempatku bekerja karena SB di perusahaan tidak peka dengan permasalahan anggota. Ketika aku diskorsing oleh perusahaan pengurus SB-nya diam saja. Sebuah Serikat Buruh seharusnya memperjuangkan permasalahan yang dihadapi anggotanya. Aku diskorsing karena berbagai sikap dan tindakanku. Termasuk juga ketika aku mengikuti aksi satu Mei. Tapi yang paling utama dipakai alasan oleh perusahaan untuk menskorsing aku adalah ketika aku memukul pengurus SB di perusahaan yang tidak mau tahu terhadap keselamatan banyak orang. Pada saat itu sedang gencar-gencarnya demo Kepmenaker 150/2000. Demo buruh di daerah Sidoarjo sudah dapat dipastikan akan terjadi dengan keras. Aku sudah mencoba ngomong pada pihak perusahaan agar besoknya tidak usah kerja karena ada isu akan ada demo buruh Sidoarjo. Aku hanya berpikir tentang keselamatan perusahaan dan keselamtan kawan-kawan. Perusahaan sudah menyetujui, tiba-tiba dari pengurus SB justru membuat surat edaran supaya besoknya tetap bekerja. Aku sangat marah dan kupukul dia. Akhirnya aku kena skorsing. Sampai saat ini SP-ku sudah numpuk sampai 8 kali. Bahkan perusahaan memintaku untuk mengundurkan diri dengan tawaran pesangon 20 juta. Aku menawar, kalau perusahaan mau mem-PHK aku, aku minta pesangon 40 juta. Nah geleng-geleng kepala kan !!!!
Begitulah sikapku sebagai buruh selama ini. Dari pengalamanku ini, aku punya pemikiran, baik kalau KPK di cabang ada kegiatan dialog bersama kawan-kawan SB lain. Dengan demikian kita bertambah wawasan dan pengetahuan. Tapi kegiatan ini jelas cukup membutuhkan biaya dan apakah teman-teman KPK mempunyai keberanian juga menentang hal-hal yang tidak benar yang terjadi di perusahaan. Kalau aku sendiri, aku akan tetap berpihak pada perjuangan buruh. **