Sunday, October 08, 2006

 

Buruh Terjajah di Negerinya sendiri



Bicara tentang kemerdekaan, bagi kita tentu terpikir juga tentang kemerdekaan Buruh. Hari kemerdekaan yang dianggap sakral oleh seluruh rakyat Indonesia ternyata tidak banyak memberikan arti bagi Buruh. Sejak era pemerintahan Sukarno sampai era Suharto, Buruh selalu menjadi kelompok yang termarginalkan. Reformasi yang sudah digulirkan beberapa tahun yang lalu mungkin hanya isapan jempol saja soal kemerdekaan buruh. Dalam bidang apapun bisa dikatakan bahwa Buruh masih terkekang. Ketidakmerdekaan Buruh itu terutama dalam hal mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat. Walaupun ada Permen No 05 tahun 1998 dan UU No 21 tahun 2000 tentang SP/SB, tapi pada prakteknya kedua aturan tersebut pada prakteknya masih terdapat banyak pembatasan-pembatasan.

Kemerdekaan seharusnya dapat memberikan kebebasan pada siapa saja (dalam konteks ini termasuk juga Buruh). Hal yang sangat mendasar yang dibutuhkan oleh buruh adalah kemerdekaan untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Maka hal ini harus senantiasa diperjuanglkan oleh Buruh dan harus senantiasa menjadi perhatian bagi pemerintah dalam setiap produk hukumnya. Dengan semakin banyak kesempatan untuk berkumpul, berinteraksi dengan sesamanya maka akan semakin banyak pula persoalan yang bisa dipelajari oleh Buruh, sehingga Buruh akan tahu tentang hak-haknya dan berani untuk menuntut kembali hak-haknya yang seringkali dirampas oleh pemodal.

Hanya saja sampai saat ini, jam kerja yang sangat panjang yakni 40 jam seminggu sudah cukup melelahkan bagi Buruh dan membatasi kesempatan Buruh untuk berkumpul. Apalagi jam kerja tersebut masih ditambah dengan adanya lembur-lembur yang dipaksakan oleh pengusaha. Lebih parah lagi pemerintah juga melarang Buruh untuk berkumpul dan berserikat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat pun kurang mendukung perjuangan buruh ini, misalnya mereka tidak simpati bahkan cenderung memusuhi kegiatan Buruh/ Serikat Buruh. Hal ini menjadikan Buruh semakin terpuruk kondisinya.

Kondisi terpuruk tersebut tentu tidak akan berubah jika Buruh tidak memperjuangkan perubahan ke arah yang lebih baik. Maka untuk mendapatkan kemerdekaannya kembali, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terutama oleh kawan-kawan Buruh sendiri. Pertama, kesadaran kaum Buruh untuk bangkit dan saling berinteraksi. Dengan demikian dapat diperoleh satu solidaritas bahkan satu komunitas besar dalam memperjuangkan dan memperoleh kembali hak-haknya. Kesadaran akan persamaan nasib dalam diri setiap Buruh akan dapat menimbulkan rasa kebersamaan. Kedua, kebebasan yang seluas-luasnya dari pemerintah untuk kaum Buruh. Selain Permen No 5 tahun 1998 dan UU 21 tahun 2000, harus ada produk hukum yang jelas soal kebebasan Buruh. Karena kedua aturan itu sangat tidak memihak Buruh.

Kedua hal tersebut mungkin kita menganggapnya hanya sebagai masalah kecil yang kita semua tahu. Tapi yang paling penting adalah keberpihakan pemerintah terhadap kaum Buruh. Begitu juga dengan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah harus selalu berpihak dan tidak merugikan Buruh. Pemerintah harus mulai mengakui bahwa Buruh adalah bagian dari rakyat yang harus diperhatikan. Sejarahpun mengatakan bahwa salah satu pembentuk negara ini yang ikut berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan sebagian besar adalah kaum Buruh.

Ketika Buruh sudah besar dan diakui salah satu kaum/ klas dalam masyarakat dan sudah mempunyai identitas yang jelas maka disitulah kebebasan akan dapat diharapkan. Wakil Buruh di parlemen harus besar, agar dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam segala hal. Sekarang persoalannya adalah kita harus bertanya pada diri kita sendiri. Apakah kita berani dan mau berubah untuk mencapi semua itu. Kebebasan mutlak dibutuhkan !

Ditulis oleh seorang kawan dari Serikat Buruh Kerakyatan (SBK)

Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?