Wednesday, September 13, 2006
Hukum Perburuhan Yang Tidak Pernah Adil bagi Buruh
Orang bilang dengan disahkannya UU PPHI (Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) maka hukum akan lebih adil, cepat, dan murah bagi kedua belah pihak. Kata siapa? Tentunya kata orang yang diuntungkan oleh disahkannya PPHI, yaitu pengusaha. Kok bias?
Dua tahun sudah PPHI disahkan. Namun baru awal tahun 2006 dijalankan, itu pun masih banyak kekurang siapan di sana-sini, sehingga banyak kasus yang menggantung dan tidak dapat diselesaikan, membuat buruh yang sedang menghadapi kasus menunggu lama tanpa kejelasan.
Setelah peresmian hakim Ad Hoc, siding PPHI mulai digelar. Namun lagi-lagi PPHI jauh dari dijanjikan. Berdasarkan asas kecepatan, dimana dalam UU PPHI ada batasan waktu dalam penentuan keputusan, toh ternyata tidak berjalan. Sampai sekarang belum ada putusan satu pun.
Belum lagi mekanisme pendaftaran kasus. Dalam PPHI, mekanisme yang digunakan menggunakan model seperti siding perdata. Buruh yang mendaftarkan kasus wajib memperoleh legalisasi. Dalam PPHI dikatakan buruh tidak dikenakan biaya, namun dalam prakteknya, karena menggunakan model perkara perdata, tentu saja hal ini membuka peluang bagi aparat pengadilan untuk mengenai biaya administrasi yang tidak murah, seperti dalam kasus perdata. Apalagi kewenangan biaya admistrasi ditentukan oleh pengadilan setempat. Lagi-lagi asas murah hanyalah isapan jempol belaka!
Berdasarkan pengalaman beberapa kawan yang bersidang melalui mekanisme PPHI, ternyata buruh yang bersidang, harus terdaftar menjadi anggota serikat bila hendak didampingi serikat. Bukankah ini berarti PPHI menutup kesempatan bagi jutaan buruh yang tidak tergabung dalam serikat ? Menggunakan pengacara ? siapa yang sanggup membayar, apalagi ditambah dengan biaya administrasi kasus ?
PPHI mulai berjalan, namun gambaran ketidakadilan dan bisnis suap sudah tampak. Buruh semakin sulit memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Pengusaha yang bekerja sama dengan pemerintah semakin bebas melenggang membeli hukum untuk menimbun harta.
Lagi-lagi, akankah kawan-kawan pasrah dan masih bias cuek berdiam diri? Masih berpikiran asal bias kerja, masa bodoh dengan urusan lain ! Namun ketika kehilangan pekerjaan dan sulit untuk mencukupi hidup baru kelabakan kesana-kemari? Mari bergerak, terwujud dalam tindakan bukan hanya sekedar kata-kata ! Maka buruh pasti menang ! (Kobar KPK)
Dua tahun sudah PPHI disahkan. Namun baru awal tahun 2006 dijalankan, itu pun masih banyak kekurang siapan di sana-sini, sehingga banyak kasus yang menggantung dan tidak dapat diselesaikan, membuat buruh yang sedang menghadapi kasus menunggu lama tanpa kejelasan.
Setelah peresmian hakim Ad Hoc, siding PPHI mulai digelar. Namun lagi-lagi PPHI jauh dari dijanjikan. Berdasarkan asas kecepatan, dimana dalam UU PPHI ada batasan waktu dalam penentuan keputusan, toh ternyata tidak berjalan. Sampai sekarang belum ada putusan satu pun.
Belum lagi mekanisme pendaftaran kasus. Dalam PPHI, mekanisme yang digunakan menggunakan model seperti siding perdata. Buruh yang mendaftarkan kasus wajib memperoleh legalisasi. Dalam PPHI dikatakan buruh tidak dikenakan biaya, namun dalam prakteknya, karena menggunakan model perkara perdata, tentu saja hal ini membuka peluang bagi aparat pengadilan untuk mengenai biaya administrasi yang tidak murah, seperti dalam kasus perdata. Apalagi kewenangan biaya admistrasi ditentukan oleh pengadilan setempat. Lagi-lagi asas murah hanyalah isapan jempol belaka!
Berdasarkan pengalaman beberapa kawan yang bersidang melalui mekanisme PPHI, ternyata buruh yang bersidang, harus terdaftar menjadi anggota serikat bila hendak didampingi serikat. Bukankah ini berarti PPHI menutup kesempatan bagi jutaan buruh yang tidak tergabung dalam serikat ? Menggunakan pengacara ? siapa yang sanggup membayar, apalagi ditambah dengan biaya administrasi kasus ?
PPHI mulai berjalan, namun gambaran ketidakadilan dan bisnis suap sudah tampak. Buruh semakin sulit memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Pengusaha yang bekerja sama dengan pemerintah semakin bebas melenggang membeli hukum untuk menimbun harta.
Lagi-lagi, akankah kawan-kawan pasrah dan masih bias cuek berdiam diri? Masih berpikiran asal bias kerja, masa bodoh dengan urusan lain ! Namun ketika kehilangan pekerjaan dan sulit untuk mencukupi hidup baru kelabakan kesana-kemari? Mari bergerak, terwujud dalam tindakan bukan hanya sekedar kata-kata ! Maka buruh pasti menang ! (Kobar KPK)