Wednesday, September 20, 2006

 

Mengapa Buruh Perempuan?


Dimuat dalam buletin Provokashi KPK edisi Mei - Juli 2001

Oleh : Rm. Ign Suparno CM

Karena beberapa alasan, buruh perempuan menduduki titik rawan untuk dieksploitasi. Ini memprihatinkan. Mungkinkah titik rawan buruh perempuan berbalik menjadi kekuatan tawar buruh perempuan dan buruh pada umumnya.

Problem kuantitas dan cara pandang pasar

Jumlah buruh perempuan di Indonesia lebih banyak dari buruh lelaki. Bila dipandang secara kolektif dengan kacamata pasar tentu jumlah yang banyak itu akan merugikan buruh perempuan. Mereka akan dianggap murah dan dipaksa mau dibayar murah. Kacamata atau paradigma pasar akan selalu memojokkan buruh perempuan, tanpa memandang martabat individual perempuan yang tak pernah berbeda dari jenis kelamin lain. Buruh perempuan lebih banyak daripada buruh lelaki. Tak berlebihan bila kita berkata bahwa tekanan terhadap buruh perempuan merupakan tekanan terhadap buruh Indonesia, dan penderitaan buruh perempuan merupakan penderitaan buruh Indonesia.

Kuantitas buruh perempuan bisa dipandang dari sisi potensi yang besar untuk menggalang kekuatan. Jumlah yang banyak merupakan kekuatan buruh perempuan. Kita sudah memiliki beberapa pengertian yang telah diterima umum bahwa hak suara lelaki perempuan berharga sama. Kalau demikian, bukankah buruh perempuan memiliki kekuatan berupa suara kolektif. Mereka bisa berseru dengan suara yang sama. Di lingkup daerah Surabaya buruh perempuan menunjukkan titik menggembirakan. Beberapa gerakan buruh telah dimulai oleh para buruh perempuan. Mereka telah terlihat beberapa kali mempelopori aksi buruh di Surabaya adalah perempuan. Bukan hal baru bila gedung DPRD Jatim dipadati perempuan yang hendak merundingkan hak-hak kaum buruh. Kekuatan perempuan bisa digalang dengan semangat yang sama, demi kesejahtraan dan kesetaraan perempuan.

Problem Kualitas dan Bias Gender

Kacamata subordinatif yang tak konsisten masih tetap dipakai di berbagai belahan dunia. Artinya, kualitas perempuan dipandang ada di bawah lelaki, namun tetap diberi beban sama (bahkan lebih) dengan lelaki, dengan upah yang lebih rendah daripada lelaki. Ini merupakan cara pemeranan yang tidak adil dan menyakitkan. Pengalaman para buruh mengatakan bahwa buruh perempuan tak mengalami kesulitan untuk bersaing mengerjakan tiap pekerjaan yang sering disebut “pekerjaan lelaki”. Berbagai kejanggalan tersebut harus dikaji ulang, agar buruh perempuan menempati posisi yang sesuai degan martabatnya.

Dalam diri perempuan ada bagian fisik dan pemeranan yang tak bisa diubah, namun ada peran yang sebenarnya masih bisa terus dikoreksi dan diubah. Misalnya melahirkan dan menyusui anak merupakan peran kodrati perempuan. Peran ini tak tergantikan laki-laki. Namun kewajiban-kewajiban tertentu seperti memasak, pengasuhan anak, sebenarnya merupakan pekerjaan yang bisa dilakukan laki-laki pula. Pembedaan tersebut menjadi biasa selama berabad-abad. Bahkan pembedaan yang semakin membelenggu perempuanpun akan bertambah seiring dengan permainan politik dan kekuasaan orang yang menguasainya.

Akibatnya pembongkaran kebiasaan akan menjadi “skandal”. Pengertian-pengertian baru yang muncul darinya akan terasa aneh bagi masyarakat yang sudah terbiasa berabad-abad untuk membedakan peran lelaki-perempuan. Penyadaran gender bagaikan membangunkan macan tidur, yang akan mengadung pertentangan, namun akan membuahkan keadilan peran. Bagaimanapun pemyadaran akan ma martabat buruh perempuan pada akhirnya merupakan pendidikan untuk menguatkan daya bela kaum perempuan yang direndahkan di pabrik-pabrik.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?