Thursday, October 12, 2006
APAKAH AKU HARUS TETAP DIAM ???
Dimuat dalam buletin Provokashi edisi 02/I/Februari-Maret 2001
Kisah dalam edisi kali ini menampilkan hasil obrolan redaksi dengan Leksianus Bon, seseorang yang sudah cukup lama ikut dalam kegiatan KPK, yakni sejak tahun 1996. Kisah penuh perjuangan ini bermula ketika ia tamat SMP dan tidak lagi melanjutkan sekolahnya, karena orang tuanya tidak mempunyai cukup biaya untuk itu. Orang tuanya yang keseharian bekerja di ladang, tidak dapat menuruti cita-citanya untuk melanjutkan sekolah di seminari menengah.
“Kondisi orang tuaku tidak jauh berbeda dengan kondisi umum ekonomi masyarakat desa di Manggarai, yang hanya mengandalkan hasil ladang sebagai penghasilan mereka. Dari segi pangan warga di desaku tidak kekurangan. Jagung, ketela dan pisang sangat cukup untuk makanan sehari-hari. Tetapi untuk mendapatkan uang, hasil yang laku dijual hanyalah kopi. Sementara kopi hanya ada pada musim panen saja. Dalam musim panen, yakni setahun sekali harga kopi kering berkisar Rp 5000 per kilogram. Biasanya kami mendapatkan hasil panen sekitar 30 kg. Kadang-kadang saja kami dapat memetik sekitar 100 kg. Kondisi ekonomi keluargaku inilah yang kemudian membuat niatku makin bulat untuk pergi merantau.
Usiaku baru 17 tahun ketika pergi merantau dari Manggarai Flores ke Surabaya. Pada mulanya aku berkeinginan untuk melanjutkan sekolah, bukan untuk bekerja. Pamanku yang berada di Denpasar menawariku untuk melanjutkan sekolah di sana, tetapi bersama seorang kawan aku memutuskan untuk pergi ke Surabaya dan bekerja. Sampai di Surabaya, aku mendapatkan pekerjaan di biro jasa pengiriman barang-barang/ ekspedisi bersamaan itu pula aku mulai bergabung dengan KPK dan tinggal di wisma.
Upah yang kuperoleh tiap bulan terdiri dari upah pokok besarnya Rp 20.000,- /bulan ditambah uang makan Rp 3000,-/hari (kalau masuk). Aku dapat bertahan hidup karena tinggal di wisma KPK, yang murah dan juga tempat kerjanya yang tidak jauh dari wisma. Di pekerjaan yang pertama ini aku hanya dapat bertahan 6 bulan karena sempat dipukuli teman kerjaku karena aku menolak ketika dia menyuruh-nyuruh aku terus. Dengan berat aku memutuskan keluar, dan mendapatkan uang pesangon Rp. 50.000,- Kejadian yang sangat tidak enak itu terjadi lagi ketika aku berada di tempat kerjaku yang kedua. Di rumah juraganku, orang China yang punya usaha agen LPG, aku merasa ditipu. Aku dijanjikan upah sebesar Rp 70.000,-/ bulan dan makan di dalam. Tetapi ketika aku sudah bekerja 3 bulan, gaji yang diberikan hanya upah sebulan yakni Rp 70.000,-. Ini pengalaman kedua yang membuatku menangis, karena tidak tahu harus bagaimana.
Pengalaman yang tidak mengenakkan itu membuatku semakin berani untuk membuat usul berkaitan dengan kesejahteraanku sebagai seorang yang bekerja pada orang lain. Keberanianku itu terlihat saat aku mulai bekerja di tempat kerjaku yang baru, yakni di sebuah toko obat. Pada saat itu, tahun 1997 aku mendapatkan upah sehari Rp. 4000,- dengan catatan tidak masuk berarti Rp 4000,- melayang. Di toko itu aku mendapatkan pekerjaan bagian sales, jadi tugasku sehari-hari berkeliling dari toko satu ke toko lain untuk setor obat dan mencari pelanggan baru. Untuk berkeliling aku mendapatkan fasilitas sepeda motor. Dalam sehari aku harus bekerja dua kali yakni pagi pukul 08.00-13.00 dan sore 17.00-22.00 WIB. Karena harus banyak keliling, aku merasa membutuhkan uang untuk makan di luar. Maka aku mengajukan adanya tambahan uang makan sebesar Rp. 2000,-/hari. Tuntutanku tidak ada tanggapan setelah satu bulan. Akhirnya aku mengundurkan diri. Dari toko obat aku mendapatkan uang pesangon Rp. 120.000,-.
Dari toko obat, aku berpindah ke perusahaan taksi. Di perusahaan taksi ini aku bekerja di bagian pengisian BBM. Di tempat ini aku mendapatkan upah sebesar Rp 150.000,-/bulan tanpa uang makan. Aku hanya dapat bertahan selama dua bulan, aku tertarik untuk bekerja di sebuah salon. Sebagai cowok aku pengin dekat dengan mbak-mbak yang cantik-cantik. Maka meskipun tanpa keahlian dalam hal kecantikan aku tetap nekad. Dengan demikian pekerjaan yang kudapatkan serabutan, bantu sana-sini. Upahku di sini Rp 200.000,-/bulan dengan fasilitas tidur dan makan di dalam. Hanya saja di tempat ini sering kali aku harus mengurbankan hari mingguku untuk tetap kerja, ketika salon tempat kerjaku mendapat pesanan merias pengantin. Ternyata yang dulu kupandang sebagai pekerjaan yang menyenangkan, tidak mampu membuatku bertahan lebih dari dua bulan. Dari pekerjaan di salon, aku alih pekerjaan di bangunan. Bagian yang kutangani adalah membuat list/ukiran dinding. Meskipun aku tetap berstatus sebagai warga wisma KPK, tetapi sama juraganku aku diminta untuk tinggal di rumahnya. Dengan demikian aku mendapatkan makan dan tempat tinggal secara gratis masih diberi fasilitas sepeda motor. Hanya saja ada tugas rutin yang harus kulakukan tiap hari yaitu mengantar jemput istri juraganku, yang bekerja di sebuah perusahaan di daerah Brebek Industri. Di sini aku mendapatkan upah Rp. 70.000,-/bulan ditambah uang makan Rp 3000/ hari meskipun aku sudah dapat jatah makan di rumah juraganku. Bangunan yang megah-megah itulah yang menjadi lahan kerja juraganku, misalnya saja perum Griya Mapan, Graha family, TP. Tiap hari aku bertugas nglist dinding maka cat dan bahan kimia, semacam tepung yang tiap hari kuhadapi.
Akibat yang kurasakan dari bahan-bahan itu adalah gatal-gatal pada kulitku. Tapi aku mencoba bertahan di tempat ini, sampai suatu ketika kejengkelan juragan terhadapku memuncak. Juraganku jengkel karena setiap kali berangkat kerja aku sering bersama kawanku yang tidak mendapatkan fasilitas seperti aku dengan janjian terlebih dahulu. Hal ini menjadikan juraganku tidak berkenan. Dia bilang kalau sudah ada uang transport untuk temanku itu sehingga aku tidak perlu berangkat bareng dengan dia. Tapi menurutku apa salahnya kalau aku bareng dia, toh satu jalur. Kejengkelan juraganku memuncak ketika aku nabrak tiang besi di depan gedung yang baru dibangun, tempat kerjaku. Selebor bagian depan motor yang kupakai pecah. Aku dimarahi juraganku, dan disuruh keluar dari rumahnya. Aku masih boleh bekerja dengan ketentuan yang berbeda, yakni aku mendapatkan upah harian sebesar Rp 5000,-. Aku memilih keluar dan mencoba untuk mencari pekerjaan lain.
Dengan bantuan seorang kawan, aku mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik sabun, bagian packing. Di tempat ini aku bekerja cukup lama, yakni mulai tahun 1998 sampai tahun 2000. Aku terpaksa keluar karena kena kasus. Selama ini, SKKB-ku yang kuganti tanggal berlakunya bukan masalah bagi perusahaan tempatku bekerja. Tetapi ketika aku bersama-sama kawan-kawanku mencoba berpikir kritis dan berusaha membongkar ketidakberesan-ketidakberesan yang ada di perusahaan, hal itu menjadi senjata bagi perusahaan untuk mem-PHK ku bersama kawan-kawanku.
Beberapa lama aku tidak bekerja, sampai akhirnya dengan terpaksa aku bekerja di sebuah depot makan. Jam kerjaku sangat panjang dari pagi pukul 07.00 sampai malam pukul 22.00. Memang aku mendapatkan makan dua kali, yakni siang dan malam, tetapi upah yang kudapatkan hanya Rp.100.000,-/bulan. Inilah yang membuatku hanya mampu bertahan selama dua minggu dan aku segera keluar. Aku kecapekan. Aku mencoba mencari pekerjaan lain, sampai akhirnya aku dapat pekerjaan menjadi penjaga wartel. Di tempat inipun jam kerjanya tak kalah panjang, yakni dari pukul 05.00-18.00 WIB. Aku mendapatkan upah Rp 100.000,-/bulan dengan mendapatkan makan siang. Aku tidak bertahan lama, akhirnya pindah ke sebuah UD atas bantuan seorang kawan di wisma. Di tempat ini aku jelas-jelas merasakan ada suatu yang menurutku tidak beres. Memang aku mendapatkan makan sekali, tetapi upah yang kuterima sangat jauh dari UMR. Upahku hanya Rp 30.000,- per bulan ditambah uang makan Rp 7500,-/hari ditambah Rp 20.000,- uang kerajinan ditambah Rp 20.000,- uang kesehatan. Pun ketika aku tidak masuk maka Rp 7500,- tidak dapat kuperoleh. Saat ini aku sadar bahwa aku mengalami sebuah permasalahan. Tetapi aku sendirian saja di tempat kerjaku ini, tidak banyak kawan seperti dulu waktu bekerja di pabrik. Maka aku hanya bisa diam menerima perlakuan ini. Tetapi apakah aku harus tetap diam ?
Pada prinsipnya aku tertarik terhadap gerakan buruh. Sebab negara pun kalau bukan rakyat yang membuat perubahan maka tetap saja negara tidak akan bergerak ke arah tatanan yang adil, meskipun pemimpinnya diganti. Begitupun dalam lingkup hubungan industrial. Perubahan ke arah hubungan industrial yang adil tidak akan tercapai tanpa buruh yang bergerak membuat perubahan. Bicara tentang KPK, sebagai organisasi perburuhan harusnya gerak KPK juga dalam hal perburuhan. Dengan demikian kegiatan-kegiatan yang membuka pengetahuan anggota berkaitan dengan perburuhan menjadi hal yang sangat penting. Misalnya kegiatan advent, natalan di KPK kemarin menjadi kegiatan yang dapat membantu anggota KPK untuk lebih kritis. Hanya saja anggota KPK sendiri kurang mendukung hal ini.
Itulah hasil obrolan redaksi dengan Leksi. Hal yang menjadi pertanyaan apakah kurang mendukungnya anggota KPK terhadap kegiatan yang sifatnya membuka cakrawala kita tentang perburuhan itu karena kurang paham atau karena takut untuk membuat perubahan ?? Tetapi catatan penting dari Leksi adalah bahwa perubahan ke arah hubungan industrial yang adil hanya mungkin diciptakan oleh buruh sendiri !!!