Monday, September 04, 2006
Periuk
Di antara semua pokok perhatian, upah merupakan faktor yang selalu menonjol. Pembicaraan mengenai upah akan sangat cepat naik ke permukaan dan bisa mengundang suasana emosional. Meski ada banyak faktor lain, pembicaraan persoalan perburuhan identik dengan persoalan upah. Hal ini bisa kita mengerti, sebab upah langsung berhubungan dengan pendapatan buruh. Kalau demikian gejalanya, tentu tak sulit untuk mengatakan bahwa persoalan ekonomi, pendapatan, upah, adalah muara dari segala masalah dan perjuangan buruh. Seorang aktivis buruh yang terPHK bisa panik luar biasa. karena yang berbicara bukan lagi soal kalah menang, bukan persoalan heroisme, melainkan menjadi masalah periuk nasi bagi istri atau suami dan anak-anaknya.
Kalau demikian kenyataannya, pendekatan ekonomis untuk gerakan buruh tentulah sangat diminati. Pemberdayaan ekonomi menjadi pendekatan yang akan sangat mudah dikerjakan. Peluang yang nampak adalah emosi masa rakyat miskin yang sangat menantikan pemikiran dan aplikasi sistem ekonomi yang memihak mereka. Jumlah mereka sangat banyak dan bisa dikumpulkan dalam satu kategori sebagai buruh. Kita bisa mengatakan “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Dengan jalan pemberdayaan ekonomi, masa akan berkumpul dan bisa dilakukan pendidikan hukum, pendidikan politik buruh, pengembangan SB, pengelolaan ekonomi rumah tangga dan apapun yang lain.
Sekilas, pembicaraan tentang tawaran berekonomi bersama menjadi sangat mudah. Dibalik itu tentu saja mengandung pertanyaan yang harus dijawab dan dipantau terus menerus. Pertama, apakah upaya pemberdayaan ekonomi tidak melarikan gerakan buruh dari permasalahan yang mendasar ke yang permukaan, terbius oleh kebutuhan sesaat. Pendekatan ini bisa sangat rawan membelokkan upaya pemberantasan masalah struktural menjadi karya pendampingan individual - karitatif. Itu berarti kita hanya akan menyimpan bara yang terus hidup dan sewaktu-waktu menyala dan membakar lagi. Kedua, upaya pemberdayaan dari pihak luar pabrik masih rawan mengalihkan tanggungjawab perusahaan akan jaminan sosial ekonomi dari perusahaan untuk buruh. Ketiga, Minimnya pendekatan ekonomis bagi buruh tentu harus memakan banyak keahlian dan pengalaman. Beberapa keahlian yang harus tersedia misalnya bagaimana mengatasi masalah permodalan, bagaimana mengatasi kredit macet (bila berupa lembaga kredit), bagaimana mengatasi anggota yang sifatnya berpindah-pindah tanpa ikatan tempat yang jelas.
Wacana ekonomi dalam gerakan buruh ini perlu terus ditanggapi dan diuji. Ujian pertama yang harus dijawab bersama: bagaimana mengembangkan perekonomian buruh tanpa meninggalkan substansi gerakan buruh pada masalah struktural? Bagaimana buruh tidak cepat puas hanya dengan terpenuhinya kepentingan ekonomisnya sesaat? Bagaimana menyediakan tenaga ahli yang loyal pada kepentingan buruh, dari kalangan buruh dan pemerhati buruh? Bagaimana menciptakan sistem untuk mengatasi mobilitas kaum buruh? Bagaimana menempatkan peran pemberdayaan ekonomis yang tidak mengambil alih peran jaminan sosial dan jaminan-jaminan dari perusahaan?
Dari kemudahan dan antisipasi negatif di atas muncul beberapa pemikiran mengenai prinsip dasar pemberdayaan ekonomis buruh. Pertama, upaya tersebut haruslah menyelamatkan buruh dari jurang kemiskinan dan kematian. Negara kita berbeda dengan negara maju yang memberi tunjangan kepada penganggur. Di negara kita menganggur berarti periuknya kosong dan kelaparan, sakit dan mati. Itu artinya, ekonomi yang dipromosikan harus menjadi jalan keluar kesulitan, harus mendatangkan untung secara individual. Kedua, sistem ekonomi yang dibangun haruslah sistem ekonomi gerakan. Maksudnya, ekonomi yang dibangun haruslah berorientasi kolektif pada semakin kokohnya gerakan buruh, tanpa meninggalkan keuntungan-keuntungan yang sifatnya idividual. Hal tersebut bisa ditunjukkan lewat pembagian keuntungan atau sisa hasil usaha. Sebagian keuntungan bisa disediakan untuk dana gerakan buruh anggotanya. Misalnya untuk membiayai pertemuan-pertemuan. Seorang pekerja dari Korea berkisah, bahwa buruh Korea berani mogok untuk memberikan tekanan kepada pemodal tanpa takut kelaparan atau tidak digaji, sebab basis ekonomi yang diciptakan buruh mampu membiayai akomodasi aktivitas tersebut, bahkan mampu memberi santunan selama mogok. Hal tersebut terjadi bukan karena kebaikan hati sesaat dari LSM, pemerhati buruh, atau siapapun, melainkan karena basis kekuatan ekonomi yang sudah dibangun buruh dalam waktu yang panjang.
Meraba prinsip dasar, kesulitan-kesulitan yang muncul, dan kemudahan yang mungkin tersedia tidak serta merta membuat kita mudah menjalani. Kita masih memerlukan atmosfer yang membenarkan (syukur kalau mendukung) proyek ekonomi gerakan. Di sana harus mempertimbangkan masak-masak peran serikat buruh, peran LSM pemerhati buruh, peran akademisi, peran orang yang ingin berpartisipasi secara parsial (pada bidang, waktu, tempat tertentu saja). Siapa yang hendak merangkum semua peran tadi, lalu siapa yang akan memulai? Artinya semua yang sudah digagas memerlukan sosialisasi dan ujicoba berkesinambungan.
Tulisan ini sarat dengan pertanyaan. Bisa kita pahami karena ini adalah rabaan untuk sebuah wacana yang belum berbentuk. Meski demikian, wacana ekonomi menarik untuk dimunculkan, mengingat apapun sebabnya, kesulitan ekonomis buruh hampir mencekik leher. Pada masa sulit itu, pertanyaan yang muncul bukan lagi soal undang-undang, soal serikat, soal diskusi, atau apapun, melainkan uang untuk membeli makan. Kita sedang berbicara tentang periuk, sebuah roh perjuangan buruh dengan seluruh keluarganya.