Saturday, September 02, 2006
DONAT RASA KACANG
Seperti biasa pagi itu aku terbangun dari tidurku dan langsung ngantri mandi, karena kostku ditempati oleh 12 orang perempuan yang semuanya kerja di pagi hari dan kamar mandinya hanya satu. Nggak tahu kenapa pagi itu Darti teman sebelah kamarku lama sekali di kamar mandi sehingga kami yang di luar menunggu dengan gelisah, takut jika terlambat. Tiba-tiba Fitri yang baru keluar dari kamarnya berteriak dengan keras, “Hei siapa di kamar mandi cepetan dong, sudah siang ini”. “Sebentar....sudah selesai kok” teriak Darti dari dalam kamar mandi. Tak lama kemudian memang Darti keluar dengan muka pucat dan sambil memegangi perutnya, dan Fitri langsung saja nyerobot masuk tanpa mempedulikan yang lain, yang sudah lebih dulu ngantri. “Huh Fitri ini kebiasaan nyerobot saja” omel Lina marah-marah.
Darti yang baru keluar dari kamar mandi duduk disebelahku masih memegangi perutnya. Kamu sakit apa Dar? tanyaku. “Biasa, lagi dapat Yan” jawabnya. “sakit ya?” “iya nggak seperti biasanya, perutku sakit sekali. Punya obat Yan” “Punya, tapi bukan Femina. Biasanya aku pakai obat pengurang rasa sakit, mau?” “Mau, apa saja lah Yan daripada sakit kayak gini” “ya aku ambilkan bentar ya”. Aku mengambil dikamarku dan menyodorkan pada Darti. “kalau habis minum biasanya sakit lho Dar” “nggak apa-apa lah, naanti kalau kerja ngantuknya juga hilang” “Lho sakit seperti itu kamu mau tetap masuk Dar?” “Iya lah, kalau nggak masuk bisa-bisa aku dipecat nanti” “memangnya nggak boleh ijin?” “Nggak tahu, aku belum pernah nyoba takut kalau dipecat. Lagian biasanya juga nggak sakit seperti ini” jawabnya. “kalau nggak salah, aku pernah dengar seharunya kita dapat cuti haid lho Dar” “Iya mungkin itu untuk karyawan tetap, kalau aku kan karyawan kontrak, mana ada cuti-cutian. Memang kalau ditempatmu boleh Yan?” “Nggak ada aturan sih, tapi kalau sakit aku minta ijin nggak masuk” “enak ya” “enakmu, kalau nggak masuk kan aku nggak dapat uang hadir. Aku mandi dulu ya, sudah siang nih. Lagian sudah nggak ada yang ngantri mandi to” kataku sambil menuju ke kamar mandi.
Tidak lama kemudian Darti berteriak pamitan “Yan aku berangkat dulu ya” teriaknya. “Ya, hati-hati ya” aku membalas teriakannya dari dalam kamar mandi.
***
Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB itu tandanya aku harus segera berangkat kerja. Aku berangkat jalan kaki karena tempat kerjaku tidak terlalu jauh dari tempat kosku. Selain itu supaya aku bisa lebih hemat. “daripada uang aku pakai untuk naik angkutan lebih baik uangku aku pakai untuk beli makan” begitu pikirku. Sampai tempat kerja jam 07.50 WIB, aku segera absen dan segera membereskan dagangan.
Aku bekerja di sebuah koperasi perusahaan ternama, sudah 2 tahun bekerja tapi posisiku tidak jelas. Pegawai tetap tidak kontrakpun tidak, karena sampai sekarang aku tidak pernah menandatangani surat kontrak. Gajiku diberikan setiap tanggal 25 sesuai dengan absensi atau hadirku. Perhitungan sehari Rp 12.000,- dan kalau aku bisa mencapai target maka aku akan mendapat bonus sebesar Rp. 50.000,- dan kalau penjualannya jauh diatas terget maka aku mendapatkan bonus dua kali lipat. Tapi targetnya di naikkan setiap bulan sehingga semakin lama semkin sulit mencapai target. Karena merasa nggak cukup dengan gajiku, pernah aku minta kenaikan dan menanyakan mengenai statusku. Tapi jawabannya tidak memuaskan, “Tunggu rapat anggota” jawab ketua koperasi. Setelah itu aku tidak pernah lagi mendengar khabar mengenai nasib kami. Aku mau tanya lagi sungkan, nanti dikira terlalu banyak menuntut dan kalau aku keluar aku bingung akan kerja di mana. ya sudah akhirnya aku memutuskan untuk tetap bekerja di koperasi tersebut dan menjalani hidup apa adanya. Tetapi kadang aku tetep berpikir, kenapa ya mbak dan mas yang menjadi pengurus koperasi ini tidak mau memperjuangkan kami, padahal pendapatan koperasi sebenarnya besar sekali dan kalau ada niat pasti mereka bisa menggaji kami dengan lebih layak. Malahan dalam setiap rapat yang aku dengar selalu, bagaimana caranya meningkatkan keuntungan koperasi sehingga sisa hasil usaha yang mereka terima nantinya menjadi lebih banyak. Lalu apa beda mereka dengan pengusaha yang “profit oriented” dengan cara mengeksploitasi tenaga buruh?????
***
Jam 16.00 WIB aku pulang ke tempat kosku. Hari ini aku capek sekali karena banyak barang yang datang, dan dalam perjalanan pulang yang aku pikirkan segera sampai di kosan, mandi dan langsung tidur. Tetapi baru menginjakkan kaki dikos, aku sudah melihat Darti menangis di kursi dekat kamarku. “Lho sakitnya tambah parah ya Dar?” tanyaku sambil mendekati dia. “Bukan itu Yan, tapi aku dipecat” teriaknya disel tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Aku sangat kaget, tapi aku berusaha nggak bertanya lebih lanjut dan menunggu Darti tenang dulu. Setelah beberapa saat dia menangis dia baru bisa cerita. “Tadi sampai tempat kerja sakitku nggak reda-reda Yan, terus aku mencoba minta ijin sama Mas Doni mandor di pabrikku. Tapi nggak dikasih ijin, malahan aku dimarahi dikira itu hanya alasanku saja dan aku malah dituduh malas kerja. Ya sudah akhirnya aku paksakan, tapi karena nggak tahan sakit, nggak sengaja aku menjatuhkan lampu dan lampu itu pecah. Terus sama Mas Doni aku dipanggil keruangannya dan langsung dikeluarkan. Aku sudah mencoba menjelaskan tapi percuma Yan, dia tidak mau mendengarkan aku. Malahan dia bilang, seharusnya sudah sejak dulu kami mengeluarkan kamu karena kami melihat hasil kerjaanmu kurang bagus dan kamu seringkali malas-malasan. Gimana ini Yan? Aku nggak mungkin pulang ke desa, malu dan lagi kalau aku pulang aku akan semakin merepotkan mbokku”. Aku hanya bisa diam dan termangu, nggak tahu harus berbuat apa dan bilang apa pada Darti. “Sabar ya Dar, nyoba cari pekerjaan lain lagi” kataku dalam kebingunganku.
Semalaman aku nggak bisa tidur, aku hanya membayangkan kalau hal itu juga terjadi padaku. Tapi tiba-tiba aku mendapat ide, gimana kalau dia membuat makanan dan menitipkan dikoperasi tempat kerjaku, selama dia belum mendapatkan kerja lagi. Paginya aku menyampaikan pada Darti mengenai apa yang aku pikirkan semalam. “Dar kamu suka nggak membuat makanan keci, donat, kripik atau apa lah?” tanyaku pada Darti. “Kalau dirumah aku senang membuat makan-makanan gitu itu Yan, memangnya kenapa sih Yan?” “Bagaimana kalau kamu membuat makanan yang kamu bisa terus menitipkan di koperasiku, kan lumayan Dar buat tambahan sebelum kamu mendapat pekerjan lagi. Lagian dapur disini kan luas”. Tapi Darti hanya diam saja, baru beberapa saat dia bilang “Aku nggak punya modal Yan, selama ini aku nggak pernah nabung buat makan saja susah” “gimana ya?, di koperasiku kan bisa simpan pinjam, bagaimana kalau aku meminjamkan pakai namaku, tapi kamu bayar ya?” “Iya, mau...mau” jawab Darti bersemangat.
Siangnya aku menemui pengurus koperasi dan tanpa proses yang berbelit-belit pinjamanku dicairkan hari itu juga, karena selama bekerja di koperasi memang aku tidak pernah meminjam uang. Aku juga menyampaikan maksudku untuk memasukkan makanan temanku yang di PHK dari tempat kerjanya dan mereka menyetujui.
Sampai dikosan aku menyampaikan khabar tersebut pada Darti dan Darti sangat senang mendengar khabar tersebut. Bahkan sore itu dia langsung mengajakku belanja bahan-bahan donat ke pasar, katanya itu yang paling mudah. Subuh dia sudah bangun dan membuat donat rasa coklat dan kacang. Tidak aku sangka ternyata donat buatan Darti banyak disukai oleh pembeli karena murah dan enak. Dan bahkan ada beberapa orang yang mulai pesan dalam jumlah yang banyak, sehingga dalam satu bulan Darti sudah bisa mengembalikan uang yang aku pinjamkan sejumlah Rp. 100.000,- . Setelah usahanya mulai agak maju, aku menanyakan pada Darti kira-kira dia mau mencari pekerjaan di mana, tapi dia bilang mau menekuni usahanya saja dan tidak mau bekerja pada orang lain lagi. “sengsara” begitu katanya. (Rosa)
Andaikan ada satu atau dua orang lagi yang kreatif dan ulet seperti Darti, pasti orang tidak akan ketakutan dan kebingungan kalau dipecat dari kerjaannya dan pasti akan berani bersuara ketika diperlakukan tidak adil di tempatnya bekerja.