Saturday, September 02, 2006
MEMBELA HAK BEKERJA
Pada saat ini kecemasan masyarakat terpusat pada persoalan pengangguran yang semakin banyak. Koran KOMPAS mengatakan ada 10,3 juta penganggur terbuka Indonesia. Kenyataan itu menjadi semakin memprihatinkan ketika ternyata penganggur di Indonesia terhitung ada 45 juta. Itu artinya ada sekitar 34 juta jiwa pengganggur terselubung yang sebenarnya tidak bekerja sebagaimana mestinya. Seperti sebuah pasar, kalau dagangannya sedikit yang mau beli banyak, tentu akan ada berbagai akkibat yang ditimbulkan.
Bagi buruh akibatnya jelas. Kelangkaan lapangan kerja membuat buruh menjadi kurang berharga. Buruh yang masih bekerja semakin sering dipojokkan secara tidak adil dalam berbagai segi. Upah tidak mengalami kenaikkan semestinya, jaminan semakin diabaikan, perlakuan terhadap mereka semakin kasar, gerakan organisasi buruh semakin dibatasi, pekerja semakin rentan di-PHK, dan sebagainya. Bagi pencari kerja kelangkaan lapangan kerja jelas merupakan kesulitan yang paling kelihatan.
Pada tingkat masyarakat terlalu banyaknya pengangguran akan menimbulkan kerawanan konflik antar warga. Pemandangannya hampir seperti semut berebut roti kecil. Meski begitu sifat manusia berbeda dengan semut. Semut cenderung mengeroyok roti dan mengangkutnya ke liang yang sama, sedangkan manusia membawa hasil kerjanya untuk kepentingan sendiri-sendiri. Karena itu perebutan lapangan kerja juga rentan memupuk egoisme dan kecenderungan saling sikut antar warga. Bahkan pada tingkat yang lain kejahatan dengan dalih pengangguran semakin banyak.
Hitung-hitung ekonomis, kelangkaan lapangan kerja juga akan melumpuhkan ekonomi.Semua penganggur tetap mengkonsumsi kebutuhan hidup. Penganggur menjadi biaya hidup suatu bangsa. Pengangguran juga menjadi pemborosan besar, karena masa dan energi produktif anggota masyarakat terbuang sia-sia.
Bekerja Sebagai Hak
Seorang buruh yang baru mendapat pekerjaan lagi setelah sempat menganggurbeberapa bulan bertutur, “Kami benar-benar bahagia bisa bekerja lagi.” Ungkapan itu membangkitkan kesadaran bahwa bagi manusia kerja bukan sekadar kewajiban, melainkan kebutuhan yang menjadi hak setiap orang. Dengan bekerja manusia menjadi mampu memenuhi fitrahnya sebagai manusia, yang dilengkapi seluruh perangkat badan untuk bekerja. Pekerjaan membuat manusia merasa bermartabat, mampu memenuhi kebutuhan riilnya dan menjadi bahagia. Teriakan berjuta-juta rakyat Indonesia yang meminta pekerjaan tadi sekaligus menegaskan makna kerja sebagai hak.
Hal itu sebenarnya bukan hal baru. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang diproklamirkan tahun 1948 telah mencatat demikian: Setiap orang memiliki hak untuk bekerja, untuk bebas memilih pekerjaannya, untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan layak serta mendapat perlindungan melawan penganggurab (Pasal 23 Deklarasi HAM).
Pada saat ini ada tantangan yang begitu berat bagi seseorang yang terus mempertahankan pekerjaannya. Ada banyak perlakuan yang membuat buruh senantiasa harus berjaga keras agar tidak kehilangan pekerjaan. Pertama, sistem kerja kontrak yang mengabaikan berbagai aturan ketenagakerjaan tentang status kerja seseorang. Rekrutmen tenaga kerja cenderung dengan sistem kontrak dan memperpanjang kontrak kerja. Bahkan orang yang sudah berstatus kerja dipaksa untuk kembali ke status kerja kontrak. Kedua, sistem outsourcing, yakni perekrutan tenaga kerja lewat yayasan penyalur tenaga kerja. Di dalam sistem itu keringat pekerja diperas bebrapa pihak, yakni pengusaha di perusahaannya, yayasan penyalur (agency) yang juga memotong pendapatan buruh yang diberikan perusahaan yang memperkerjakannya, dan oleh pihak-pihak yang mengeruk keuntungan dari perpanjangan prosedur kerja itu.
Buruh pada saat ini dihadapkan pada dilema. Perut yang lapar membenarkan orang untuk mendapatkan pekerjaan dengan cara apapun. Sementara sikap kompromis yang cenderung menerima pekerjaan dengan status apapun akan membawa dampak yang sangat dahsyat dan panjang jangkanya. Dampak yang paling kelihatan adalah rusaknya sistem penguatan daya tawar buruh, sekaligus rusaknya sendi-sendi untuk memperyahankan hak-hak buruh. Undang-Undang Perburuhan akan semakin mudah dilanggar tanpa sanksi yang setimpal bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran. Pemerintah yang diwakili disnakernya akan cenderung lepas tangan dan menyerahkan permasalahan perburuhan pada hukum rimba pasar tenaga kerja. Ruang gerak serikat pekerja dilumpuhkan secara sistematis leh sistem-sistem yang membuat buruh takut berkumpul dan berpendapat.
Siapa Yang Bertanggungjawab
Ketika kita melihat dengan kaca mata partisipatif, tentu saja tanggung jawab untuk menjaga martabat kerja dan martabat kaum buruh adalah tanggung jawab kita bersama. Itu benar. Namun dibalik itu kita harus ingat bahwa rakyat telah memberi mandat dengan membayar pajak untuk membiayai kerja-kerja pemerintah yang diwakili oleh menteri tenaga kerja, menteri perindustrian, disnaker dan semua perangkat perburuhannya. Kemauan politik mereka untuk membela kaum lemah, buruh, adalah tanggung jawabnya (bukan kebaikan hatinya). Sementara sikap acuh tak acuh mereka terhadap masalah pengangguran adalah kejahatan negara yang harus dituntut dengan perlawanan massa. Kaum buruh Indonesia saat ini pantas untuk tidak putus asa. Masih ada jalan dan pelaku, asal tidak jemu-jemu mendesak para wakil rakyat dan pemerintah sebagai penerima amanah rakyat, serta tidak ragu menghayati dan memperjuangkan martabat kerja di unit kerja masing-masing. (Rm. Ign. Suparno, CM)