Monday, September 04, 2006

 

Energi Pengharapan (Kesadaran Baru Bagi Kaum Buruh)

Oleh : Yohanes B.B. Werang


Permenungan ini berangkat dari seorang kawan buruh yang mengisahkan bahwa kadang pribadinya seperti robot yang dapat digerakkan begitu saja. Ia kurang leluasa dalam mengekspresikan dirinya, relasi dengan sahabat-sahabatnya sangat dibatasi. Hal ini terjadi karena sudah dikondisikan sedemikian rupa seperti itu. Terbersit pertanyaan dalam diriku, masih adakah kesadaran-kesadaran baru yang dapat memunculkan sebuah harapan untuk mengeliminir semua kondisi yang tidak manusiawi itu? Inilah pergumulan seorang sahabat yang bekerja di pabrik. Pergumulannya ini membuat saya merefleksikan sebuah upaya dengan jalan meningkatkan energi pengharapan di tengah hamparan rasa ketidakadilan, dan keterasingan.

Refleksi ini berpijak pada pribadi Mahatma Gandhi, seorang pemimipin kharismatis sekaligus revolusioner yang hidup di India. Ia tampil memberikan energi pengharapan kepada kaum miskin ( pariah) dan buruh pabrik. Di tengah hamparan ketidakadilan yang dialami kaum pariah. Gandhi tampil mewartakan suatu pengharapan, suatu pembebasan, suatu mileneum baru, yang memerdekakan mereka. “Saya tidak menghiraukan perintah yang ditujukan kepada saya, hal tersebut bukan dikarenakan saya tidak memiliki rasa hormat terhadap para pejabat yang berwenang dalam hukum, tetapi karena saya menaati hukum yang lebih tinggi yang mengatur kehidupan kita yakni ‘suara hati’”. Inggris dan pemilik modal adalah pemegang kekuasaan pada saat itu. Mereka seringkali memproduksi sejumlah hukum dan perundang-undangan bukan untuk kesejahteraan bangsa India, melainkan mengeksploitasi mereka. Kekuasaan seperti inilah yang membuat Gandhi menolak untuk hadir dalam pertemuan yang diadakan oleh mereka. Ia tidak datang dalam pertemuan tersebut karena bangsa Inggris tetap menunjukkan sikap arogannya dalam memperlakukan kaum pariah. Ia juga menolak untuk datang dalam pertemuan yang diundang oleh kaum pemilik modal. Sikap kritisnya ini dilakukan dengan mengajak kaum pariah dan kaum buruh untuk memboikot produk Inggris, berpuasa, dan mogok makan. Gandhi menyerukan kepada mereka semua untuk bersatu. Hanya persatuanlah yang membuat mereka akan meraih zaman milennium baru, zaman yang bebas dari rasa ketertindasan. Gandhi mengajak mereka untuk berikrar, tanpa memandang akibat yang mungkin terjadi, mereka tidak akan kembali ke pekerjaan mereka tanpa peningkatan upah sebanyak tiga puluh lima persen, dan bahwa mereka tidak akan mencuri, merampas atau merusak bangunan atau menempuh kekerasan apapun. Gerakan ahimsa yang dilakukan ini, membuat pemerintahan Inggris mulai melunak dan pemilik perusahan mulai menaikan gaji para buruh. Keberanian Gandhi dalam upaya membela kaum miskin ini membuat dia dikenal tidak hanya sebagai seorang pemimpin tetapi juga sebagai seorang pembebas yang mampu memberikan energi harapan.

“Kalau pada zamannya Gandhi, orang Inggris dan pemilik pabrik adalah pemegang kekuasaan tertinggi dengan perilaku seperti itu. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia saat ini. Orang yang memiliki kekuasaan sering memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri dengan memproduksi sejumlah kebijakan. Sejumlah kebijakan itu tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang bukan berpihak pada orang miskin, melainkan membela orang yang kuat. Kisah teman saya tadi, menggiring saya untuk merenungkan bahwa betapa kaum buruh sering diposisikan sebagai kaum yang “dimanfaatkan”. Posisi yang demikian menyebabkan sejumlah hak-hak asasi kaum buruh selalu terabaikan. Contoh yang paling jelas adalah pemberlakuan buruh kontrak. Gagasan awal yang dicetuskan oleh pihak pengusaha adalah memikirkan pensiun dini bagi kaum buruh. Ide yang sangat cemerlang, karena para pengusaha mulai memikirkan nasib kaum buruh. Namun dalam implementasinya pemberlakuan sistem buruh kontrak memangkas sejumlah hak yang seharusnya dimiliki oleh kaum buruh dan memberikan beberapa keuntungan bagi para pengusaha. Sejumlah keuntungan itu antara lain, para pengusaha tidak lagi memiliki beban finansial seperti pesangon, jaminan sosial, tunjangan-tunjangan yang relatif tetap. Sisi lain, yang langsung dialami oleh buruh adalah mempersempit ruang gerak buruh untuk bersosialisasi dan membangun organisasi, sekaligus memudahkan pengusaha untuk mem-PHK pekerjaannya dengan alasan habis kontrak. Bila ini yang terjadi maka, para buruh merasa tidak nyaman dalam bekerja karena dibayang-bayangi oleh PHK sewaktu-waktu. Pemberlakuan sistem buruh kontrak pada akhirnya membuat kaum buruh semakin tersisihkan. Situasi ini diperparah lagi dengan pemberlakuan sejumlah perundang-undangan yang jelas-jelas tidak memihak kaum buruh. Seperti halnya RUU PPHI. Negara atau pemerintah yang seharus memberikan proteksi terhadap hak asasi setiap buruh, dalam kenyataannya justru melepaskan tanggungjawabnya untuk melindungi kaum buruh. Negara membiarkan buruh dan pengusaha terlibat dalam penyelesaian perselisihan secara liberal. Sistem dan perundang-undangan yang mengebiri hak-hak kaum buruh ini menjadikan buruh seperti robot yang dapat digerakkan dan dikemudikan oleh pengusaha dan pemerintah”.

Di tengah merebaknya aneka persoalan yang dihadapi kaum buruh, dan kesulitan ekonomi yang ditandai dengan meningkatnya harga kebutuhan hidup, apa yang perlu kita lakukan?. Masih adakah energi harapan yang dapat diserap oleh kaum buruh? Saya memikirkan untuk sesegera mungkin mengembangkan energi harapan. Energi harapan yang yang senantiasa menyadari sejumlah hak kaum buruh dan memperjuangkannya secara terus-menerus. Seperti halnya kehadiran Gandhi memberikan energi harapan bagi kaum miskin untuk menyadari martabat mereka sebagai manusia, dan membebaskan mereka. Maka kitapun satu sama lain saling membebaskan dan memberikan energi harapan kepada kawan-kawan kita, bahwa akan tercipta tatanan hidup yang baik bila buruh semakin bersatu. Energi harapan itu dapat ditandai akan semakin solidnya persatuan buruh. Energi harapan juga tercetus lewat kehadiran berbagai pihak yang mau terlibat secara tulus dalam memikirkan nasib kaum buruh dan bukannya memanfaatkan kesempatan untuk semakin menindas kaum buruh. Energi harapan juga ditandai semakin kokohnya kerjasama antar berbagai serikat, dan bukannya saling menjatuhkan. Energi harapan juga mengalir dari kemampuan setiap pribadi untuk mengembangkan keterampilan diri. Menipisnya energi harapan akan membawa kita dalam keputusasaan, tanpa berpikir yang rasional untuk mencari peluang. Suasana yang putus asa tidak membuat kita kreatif dalam upaya untuk merebut kesempatan.

Semakin banyak energi harapan disatukan, maka persoalan perburuhan yang semakin kompleks, perlahan-lahan dapat teratasi. Upaya tersebut dilakukan secara terus menerus demi tercipta suatu tatanan hidup yang lebih baik. Seperti halnya Gandhi kita harus mengatakan dalam diri kita bahwa, “masih lebih baik memberikan sukacita kepada sebuah hati dengan tindakan daripada seribu kepada yang tunduk berdoa”. (Yohanes B.B. Werang)


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?