Monday, December 11, 2006
Serikat Pekerja/Buruh
Serikat Pekerja/Buruh
Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk buruh, baik di tingkat perusahaan maupun tidak yang bersifat terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela dan melindungi hak dan kepentingan buruh. Untuk mencapai tujuan tersebut, SB mempunyai fungsi sebagai berikut :
- sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB) dan penyelesaian perselisihan industrial.
- sebagai wakil buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan.
- sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya.
- sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan buruh sesuai dengan peraturan yang ada.
- sebagai wakil buruh dalam memperjuangkan kepemilikian saham di perusahaan.
Serikat Buruh dapat dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 orang buruh, tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, dan agama. Dalam hal pembentukan SB di perusahaan, dalam Undang-Undang Serikat Buruh No. 21/2000 pengusaha dilarang untuk :
1. mem-PHK (baik sementara atau tetap), menurunkan jabatan atau mutasi bagi buruh yang bergabung dalam SB
2. tidak membayar atau mengurangi upah buruh
3. melakukan intimidasi dalam bentuk apa pun
4. melakukan kampanye anti pembentukan SB
Keuntungan dari adanya dan bergabungnya buruh dalam SB adalah :
- apabila ada masalah/perselisihan, ancaman atau perilaku tidak adil dalam perusahaan yang dilakukan oleh pengusaha, anggota SB akan dibantu dalam proses penyelesaian perselisihan dan dilindungi haknya.
- memperoleh pendidikan untuk memperluas pengetahuan buruh tentang hak-hak dasar/normatif buruh yang tidak boleh dilanggar, pelatihan berorganisasi dan manajemennya.
- Dengan berorganisasi, buruh akan semakin kuat dan tinggi posisi tawarnya, sehingga tidak mudah dicurangi dan diperlakukan tidak adil oleh pengusaha.
Apakah di tempat kerja kawan-kawan sudah ada SB yang benar-benar melindungi dan membela hak kawan-kawan? Atau justru SB yang ada malah memojokkan dan menyalahkan kawan-kawan ketika mendapatkan masalah?
Friday, October 27, 2006
“AKU SEMPAT MENITIKKAN AIR MATA”
Aku seorang gadis yang bekerja di daerah Tambak Sawah, sebut saja namaku “X”. Ingin aku berbagi cerita sehingga aku sampai menjadi buruh di Sidoarjo. Mungkin nasibku mirip dengan nasib buruh pada umumnya.
Waktu aku masih duduk di bangku SMU, terlintas di benakku betapa enak dan senangnya teman-temanku yang bekerja di
Ujian SMU telah aku jalani dan aku bingung terhadap apa yang harus aku lakukan. Semua temanku bingung untuk mencari sekolah sedangkan aku tidak. Bukan aku tak mampu melanjutkan sekolah itu, tapi karena ayahku seudah tak sanggup untuk membiayai. Apalagi administrasi yang harus aku bayar di bangku SMU baru bisa terlunasi usai ujian. Aku bingung, aku tak bisa menerima keputusan orang tuaku yang tak memberi kesempatan untuk menimba ilmu yang lebih tinggi lagi. Alasan yang ia kemukakan masuk akal juga “ saudaraku banyak dan mereka juga memerlukan biaya yang tidak sedikit, setidaknya sampai tingkat SMU sepertiku”. Akhirnya di sela kegalauan hatiku, ada seseorang yang menawarkan kerja di Sidoarjo. Tanpa pikir panjang aku pun mengiyakan. Dengan berbekal surat-surat yang disarankan untuk melamar, aku pun berangkat bersamanya. Keraguan sempat terbersit di benakku mana kala aku diajaknya naik bis jurusan
Aku pun diajaknya ke desa Gedangan dan langsung dicarikan kost. Dalam keraguan dan ketidaktahuan apa yang mesti aku lakukan, aku turuti saja sarannya. Sebelum dia pergi beranjak meninggalkanku, iapun meminta uang sebesar Rp 20.000,-. Bagai kerbau ditusuk hidungnya aku langsung memberi. Padahal semula aku tidak mengira ia akan minta uang imbalan. Belum lagi terobati kecemasan hati, Bapak pemilik kost datang padaku untuk meminta uang kost. Aku pun baru tahu bahwa pembayaran kost dilakukan ketika penghuni mulai menempatinya. Maklum inilah pertama kalinya aku kost. Malam itu pun aku terasa sangat panjang sebab aku membayangkan betapa sulitnya aku menjalani hidup ini. Waktu yang seharusnya aku gunakan untuk istirahat setelah perjalanan jauh, ternyata sangat menyiksa batinku.
Pagi pun tiba, kulangkahkan kakiku menuju ke perusahaan yang ditunjukkan olehnya dengan penuh harapan bahwa aku harus diterima di perusahaan tersebut apa pun keadaannya. Ucap syukurku terlontar dari mulutku karena aku diterima di perusahaan yang memproduksi peleg bagian baut.
Persaingan memang ketat antar buruh. Sering dan bukan cerita lagi jika aku harus bertengkar lagi jika aku harus bertengkar dengan buruh yang bekerja sudah agak lama.
Penghasilan yang aku terima didasarkan pada jumlah barang yang aku hasilkan. Meskipun demikian aku tak pernah dapat memenuhi target. Total uang yang aku peroleh per minggunya Rp 6000,-. Padahal UMR pada saat itu Rp 2.250,- per hari, tetapi perusahaan yang kutempati menerapkan sistem borongan dan tidak mendasarkan pada sistem pengupahan yang ada. Hanya ada sedikit kebaikan dari perusahaan yaitu ada makan siang sekali. Aku harus berangkat pukul 08.00 dan pulang pukul 16.00. Satu bulan aku bertahan di perusahaan tersebut.
Keinginanku berubah ketika aku melihat tetangga kostku yang bekerja di pabrik sepatu. Aku pun ingin melamar di perusahaan tersebut. Kucoba mengumpulkan syarat-syarat untuk melamar, tapi apa yang aku lihat tidak lagi tampak. Perusahaan yang di waktu malam kelihatan kokoh dan megah sekarang jadi lautan manusia karena banyaknya pelamar yang datang menyerbu perusahaan itu. Mereka saling berebut untuk memasukkan lamaran. Tak ada hasil yang aku dapatkan. Dengan sisa keputusasaanku kulangkahkan kakiku menuju tempat kost. Cari
Senin adalah hari pertama aku masuk kerja. Pagi sekali aku sudah berangkat. Maklum aku buruh baru. Setelah peluit tanda bahwa buruh harus segera bekerja, kulangkahkan kakiku ke perusahaan itu. Tepat pukul 09.00,karena menahan hawa panas yang aku rasakan akhirnya akupun tak sadarkan diri. Kemudian temanku mengantarkan aku pulang dan besuk aku langsung disuruhnya masuk kerja pukul 19.00 dan pulang pukul 07.00. Kerjaku hari pertama tidak diperhitungkan maka tidak digaji. Ini adalah pengalaman pertamaku kerja dengan sistem shift. Meski kantuk mengiringi kerjaku, tetapi kerjaku tetap aku jalani. Tepat dua minggu aku kerja, aku menerima hakku. Gajian inilah buah dari kerjaku. Rp. 30.000,- uang yang aku terima. Pada waktu itu tahun1993, aku tahu perusahan harus mutlak melaksanakan Kepmen No. 50/1992 tentang UMR sebesar Rp. 2.250,- per hari. Tapi yang aku terima hanya Rp 2. 500,-per hari, itupun harus aku ganti dengan kerja selama 10 jam dan itu sudah merupakan total gajiku. Kutanyakan pada teman-temanku apakah mereka tahu tentang perhitungan gaji tersebut. Tapi apa jawaban mereka, “sudah untung mBak kita digaji Rp 2500,- karena banyak perusahaan yang menggaji buruhnya lebih kecil dari kita”. Aku mulai berpikir inilah alasan perusahaan yang menerima buruh baru dengan mempergunakan ijazah SMP. Karena merasa dibohongi perusahaan, aku pun melamar di perusahaan sepatu yang kebanyakan stafnya orang
Juni 1993 awal mula aku bekerja di perusahaan tersebut. Meski tidak banyak perubahan yang aku rasakan, tetapi masih mendingan. Di tempat kerjaku tersebut aku harus masuk kerja pukul 07.00 dan pulang pukul 14.30. Itu pun kalau tidak lembur. Jika harus masuk shift berangkat pukul 14.30 dan pulang pukul 22.00. Kerja hari pertama aku langsung pulang pukul 17.30. Tepat pukul 12.00 aku sempat menitikkan air mata, kami saling berebut kardus serta nasi bungkus. Sehabis makan kami semua membaringkan badan untuk mengurangi kepenatan kami setelah bekerja selama
Wednesday, October 18, 2006
MENINGGALKAN NEGERI ORANG GILA
Dimuat dalam buletin Provokashi edisi04/I/Juli-September 2001
MENINGGALKAN NEGERI ORANG GILA
Orang gila di lampu penyeberangan
Rambutnya gimbal
Kumis dan jenggotnya jarang-jarang
Secara pribadi saya iri kepada orang gila. Mereka kelihatan bebas tanpa beban. Mereka bebas mau tidur di mana, mau mandi atau tidak, mau makan apa, mau berpakaian atau telanjang. Siapapun ingin bebas, anehnya tak seorangpun mau menjadi gila. Adakah sesuatu yang membedakan kebebasan orang gila dengan orang waras. Orang gila tak mempermasalahkan segala sesuatu bukan karena merasa bebas, tetapi karena lepas kontrol dan kehilangan sensor untuk rasa malu, rasa bersalah, dan rasa-rasa yang lain. Orang gila juga kehilangan orientasi untuk segala tindak-tanduk yang dilakukannya. Ia tak menyadari untuk apa tindakannya dilakukan. Rupanya inilah yang pada akhirnya menjadi ukuran orang itu waras atau tidak, yakni kontrol diri atau sensornya serta orientasi hidupnya.
Hal ini menarik ketika kita merefleksikan kebebasan buruh. Kita hendak memilih pola pembebasan diri yang bisa diterima orang. Pada hemat saya, kebebasan adalah pertanda orang waras (tidak gila), kebebasan harus dikejar untuk menjadi waras, dengan cara yang waras pula, yakni dengan sensor dan orientasi. Pertama, sensor atau kontrol diri berarti suatu kesadaran untuk menempatkan dirinya sesuai aturan main yang ada. Aturan mainnya adalah Undang-undang perburuhan dan sensornya yang lain adalah kehendak masyarakat pelaku undang-undang. Undang-undang mestinya dijadikan sarana pembenaran setiap tuntutan dan keputusan Buruh. Kondisi dan kehendak masyarakat tersebut harus didengarkan juga sebagai ukuran ugahari tuntutan buruh. Perjuangan yang tak pernah terkontrol oleh undang-undang dan tatanan masyarakat hanya akan membuahkan aksi orang gila yang cenderung mengandalkan kekuatan fisik. Kita berkali-kali mencoba memperjuangkan kemerdekaan buruh. Sayang masih banyak dari kita yang kurang menguatkan diri dengan pengetahuan akan Undang-undang perburuhan dan kurang mencari dukungan kepada masyarakat.
Kedua, hal yang belum umum adalah soal orientasi. Orientasi adalah pikiran ke depan bagi dunia perburuhan. Orientasi menyangkut kehidupan buruh pada umumnya maupun kehidupan pribadi buruhnya sendiri. Orientasi adalah hal jauh ke depan yang mesti dipikirkan dari sekarang. Mari berbicara persoalan seoarang buruh lebih dahulu. Ada buruh yang memiliki cita-cita dan rancangan-hidup, ada yang tidak sama sekali. Yang memilikinya akan memikirkan cita-cita hidupnya dan merancang bagaimana cita-cita itu dicapai. Tandanya kelihatan ketika seorang buruh ditanya soal masa depannya. Ada seorang buruh yang mampu mengatakan cita-cita dan upaya-upaya yang telah ia lakukan tahap demi tahap. Kita sering kagum mendengar seorang buruh yang dengan upah yang pas-pasan pun masih menabung, menyisihkan uangnya untuk memikirkan rumahnya, untuk menikah suatu ketika, dan sebagainya. Dalam tingkat yang lebih luas, pemerdekaan buruh juga memerlukan orientasi. Untuk inilah kita sebagai buruh memerlukan hal-hal yang penting untuk masa depan perburuhan kita. Misalnya kita memerlukan Undang-undang yang benar-benar adil dan memperhatikan kepentingan kaum buruh. Untuk itu tak akan tercapai bila kita berpangku tangan tak ikut mengupayakan seruan-seruan yang berarti untuk perubahan perundang-undangan. Mulai sekarang kita bisa memikirkan lapangan kerja yang pantas agar setiap orang mendapat pekerjaan, agar daya tawar buruh menguat dan posisi buruh tak terombang-ambingkan oleh ancaman PHK. Semua itu benar-benar tercapai kalau kita bermodalkan orientasi bagi dunia perburuhan kita.
Demikianlah urun rembug untuk memetakan pemerdekaan buruh. Usulan di atas merupakan pembongkaran falsafah pembebasan yang utuh, dengan pembebasan DARI berbagai belenggu penindasan menuju pembebasan UNTUK sebuah kondisi yang lebih baik. Kelengkapan pemerdekaan itulah yang kiranya membantu kita untuk berjalan meninggalkan negeri gila yang saling sikut serta kehilangan kontrol dan orientasi ini.
Thursday, October 12, 2006
APAKAH AKU HARUS TETAP DIAM ???
Dimuat dalam buletin Provokashi edisi 02/I/Februari-Maret 2001
Kisah dalam edisi kali ini menampilkan hasil obrolan redaksi dengan Leksianus Bon, seseorang yang sudah cukup lama ikut dalam kegiatan KPK, yakni sejak tahun 1996. Kisah penuh perjuangan ini bermula ketika ia tamat SMP dan tidak lagi melanjutkan sekolahnya, karena orang tuanya tidak mempunyai cukup biaya untuk itu. Orang tuanya yang keseharian bekerja di ladang, tidak dapat menuruti cita-citanya untuk melanjutkan sekolah di seminari menengah.
“Kondisi orang tuaku tidak jauh berbeda dengan kondisi umum ekonomi masyarakat desa di Manggarai, yang hanya mengandalkan hasil ladang sebagai penghasilan mereka. Dari segi pangan warga di desaku tidak kekurangan. Jagung, ketela dan pisang sangat cukup untuk makanan sehari-hari. Tetapi untuk mendapatkan uang, hasil yang laku dijual hanyalah kopi. Sementara kopi hanya ada pada musim panen saja. Dalam musim panen, yakni setahun sekali harga kopi kering berkisar Rp 5000 per kilogram. Biasanya kami mendapatkan hasil panen sekitar 30 kg. Kadang-kadang saja kami dapat memetik sekitar 100 kg. Kondisi ekonomi keluargaku inilah yang kemudian membuat niatku makin bulat untuk pergi merantau.
Usiaku baru 17 tahun ketika pergi merantau dari Manggarai Flores ke Surabaya. Pada mulanya aku berkeinginan untuk melanjutkan sekolah, bukan untuk bekerja. Pamanku yang berada di Denpasar menawariku untuk melanjutkan sekolah di sana, tetapi bersama seorang kawan aku memutuskan untuk pergi ke Surabaya dan bekerja. Sampai di Surabaya, aku mendapatkan pekerjaan di biro jasa pengiriman barang-barang/ ekspedisi bersamaan itu pula aku mulai bergabung dengan KPK dan tinggal di wisma.
Upah yang kuperoleh tiap bulan terdiri dari upah pokok besarnya Rp 20.000,- /bulan ditambah uang makan Rp 3000,-/hari (kalau masuk). Aku dapat bertahan hidup karena tinggal di wisma KPK, yang murah dan juga tempat kerjanya yang tidak jauh dari wisma. Di pekerjaan yang pertama ini aku hanya dapat bertahan 6 bulan karena sempat dipukuli teman kerjaku karena aku menolak ketika dia menyuruh-nyuruh aku terus. Dengan berat aku memutuskan keluar, dan mendapatkan uang pesangon Rp. 50.000,- Kejadian yang sangat tidak enak itu terjadi lagi ketika aku berada di tempat kerjaku yang kedua. Di rumah juraganku, orang China yang punya usaha agen LPG, aku merasa ditipu. Aku dijanjikan upah sebesar Rp 70.000,-/ bulan dan makan di dalam. Tetapi ketika aku sudah bekerja 3 bulan, gaji yang diberikan hanya upah sebulan yakni Rp 70.000,-. Ini pengalaman kedua yang membuatku menangis, karena tidak tahu harus bagaimana.
Pengalaman yang tidak mengenakkan itu membuatku semakin berani untuk membuat usul berkaitan dengan kesejahteraanku sebagai seorang yang bekerja pada orang lain. Keberanianku itu terlihat saat aku mulai bekerja di tempat kerjaku yang baru, yakni di sebuah toko obat. Pada saat itu, tahun 1997 aku mendapatkan upah sehari Rp. 4000,- dengan catatan tidak masuk berarti Rp 4000,- melayang. Di toko itu aku mendapatkan pekerjaan bagian sales, jadi tugasku sehari-hari berkeliling dari toko satu ke toko lain untuk setor obat dan mencari pelanggan baru. Untuk berkeliling aku mendapatkan fasilitas sepeda motor. Dalam sehari aku harus bekerja dua kali yakni pagi pukul 08.00-13.00 dan sore 17.00-22.00 WIB. Karena harus banyak keliling, aku merasa membutuhkan uang untuk makan di luar. Maka aku mengajukan adanya tambahan uang makan sebesar Rp. 2000,-/hari. Tuntutanku tidak ada tanggapan setelah satu bulan. Akhirnya aku mengundurkan diri. Dari toko obat aku mendapatkan uang pesangon Rp. 120.000,-.
Dari toko obat, aku berpindah ke perusahaan taksi. Di perusahaan taksi ini aku bekerja di bagian pengisian BBM. Di tempat ini aku mendapatkan upah sebesar Rp 150.000,-/bulan tanpa uang makan. Aku hanya dapat bertahan selama dua bulan, aku tertarik untuk bekerja di sebuah salon. Sebagai cowok aku pengin dekat dengan mbak-mbak yang cantik-cantik. Maka meskipun tanpa keahlian dalam hal kecantikan aku tetap nekad. Dengan demikian pekerjaan yang kudapatkan serabutan, bantu sana-sini. Upahku di sini Rp 200.000,-/bulan dengan fasilitas tidur dan makan di dalam. Hanya saja di tempat ini sering kali aku harus mengurbankan hari mingguku untuk tetap kerja, ketika salon tempat kerjaku mendapat pesanan merias pengantin. Ternyata yang dulu kupandang sebagai pekerjaan yang menyenangkan, tidak mampu membuatku bertahan lebih dari dua bulan. Dari pekerjaan di salon, aku alih pekerjaan di bangunan. Bagian yang kutangani adalah membuat list/ukiran dinding. Meskipun aku tetap berstatus sebagai warga wisma KPK, tetapi sama juraganku aku diminta untuk tinggal di rumahnya. Dengan demikian aku mendapatkan makan dan tempat tinggal secara gratis masih diberi fasilitas sepeda motor. Hanya saja ada tugas rutin yang harus kulakukan tiap hari yaitu mengantar jemput istri juraganku, yang bekerja di sebuah perusahaan di daerah Brebek Industri. Di sini aku mendapatkan upah Rp. 70.000,-/bulan ditambah uang makan Rp 3000/ hari meskipun aku sudah dapat jatah makan di rumah juraganku. Bangunan yang megah-megah itulah yang menjadi lahan kerja juraganku, misalnya saja perum Griya Mapan, Graha family, TP. Tiap hari aku bertugas nglist dinding maka cat dan bahan kimia, semacam tepung yang tiap hari kuhadapi.
Akibat yang kurasakan dari bahan-bahan itu adalah gatal-gatal pada kulitku. Tapi aku mencoba bertahan di tempat ini, sampai suatu ketika kejengkelan juragan terhadapku memuncak. Juraganku jengkel karena setiap kali berangkat kerja aku sering bersama kawanku yang tidak mendapatkan fasilitas seperti aku dengan janjian terlebih dahulu. Hal ini menjadikan juraganku tidak berkenan. Dia bilang kalau sudah ada uang transport untuk temanku itu sehingga aku tidak perlu berangkat bareng dengan dia. Tapi menurutku apa salahnya kalau aku bareng dia, toh satu jalur. Kejengkelan juraganku memuncak ketika aku nabrak tiang besi di depan gedung yang baru dibangun, tempat kerjaku. Selebor bagian depan motor yang kupakai pecah. Aku dimarahi juraganku, dan disuruh keluar dari rumahnya. Aku masih boleh bekerja dengan ketentuan yang berbeda, yakni aku mendapatkan upah harian sebesar Rp 5000,-. Aku memilih keluar dan mencoba untuk mencari pekerjaan lain.
Dengan bantuan seorang kawan, aku mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik sabun, bagian packing. Di tempat ini aku bekerja cukup lama, yakni mulai tahun 1998 sampai tahun 2000. Aku terpaksa keluar karena kena kasus. Selama ini, SKKB-ku yang kuganti tanggal berlakunya bukan masalah bagi perusahaan tempatku bekerja. Tetapi ketika aku bersama-sama kawan-kawanku mencoba berpikir kritis dan berusaha membongkar ketidakberesan-ketidakberesan yang ada di perusahaan, hal itu menjadi senjata bagi perusahaan untuk mem-PHK ku bersama kawan-kawanku.
Beberapa lama aku tidak bekerja, sampai akhirnya dengan terpaksa aku bekerja di sebuah depot makan. Jam kerjaku sangat panjang dari pagi pukul 07.00 sampai malam pukul 22.00. Memang aku mendapatkan makan dua kali, yakni siang dan malam, tetapi upah yang kudapatkan hanya Rp.100.000,-/bulan. Inilah yang membuatku hanya mampu bertahan selama dua minggu dan aku segera keluar. Aku kecapekan. Aku mencoba mencari pekerjaan lain, sampai akhirnya aku dapat pekerjaan menjadi penjaga wartel. Di tempat inipun jam kerjanya tak kalah panjang, yakni dari pukul 05.00-18.00 WIB. Aku mendapatkan upah Rp 100.000,-/bulan dengan mendapatkan makan siang. Aku tidak bertahan lama, akhirnya pindah ke sebuah UD atas bantuan seorang kawan di wisma. Di tempat ini aku jelas-jelas merasakan ada suatu yang menurutku tidak beres. Memang aku mendapatkan makan sekali, tetapi upah yang kuterima sangat jauh dari UMR. Upahku hanya Rp 30.000,- per bulan ditambah uang makan Rp 7500,-/hari ditambah Rp 20.000,- uang kerajinan ditambah Rp 20.000,- uang kesehatan. Pun ketika aku tidak masuk maka Rp 7500,- tidak dapat kuperoleh. Saat ini aku sadar bahwa aku mengalami sebuah permasalahan. Tetapi aku sendirian saja di tempat kerjaku ini, tidak banyak kawan seperti dulu waktu bekerja di pabrik. Maka aku hanya bisa diam menerima perlakuan ini. Tetapi apakah aku harus tetap diam ?
Pada prinsipnya aku tertarik terhadap gerakan buruh. Sebab negara pun kalau bukan rakyat yang membuat perubahan maka tetap saja negara tidak akan bergerak ke arah tatanan yang adil, meskipun pemimpinnya diganti. Begitupun dalam lingkup hubungan industrial. Perubahan ke arah hubungan industrial yang adil tidak akan tercapai tanpa buruh yang bergerak membuat perubahan. Bicara tentang KPK, sebagai organisasi perburuhan harusnya gerak KPK juga dalam hal perburuhan. Dengan demikian kegiatan-kegiatan yang membuka pengetahuan anggota berkaitan dengan perburuhan menjadi hal yang sangat penting. Misalnya kegiatan advent, natalan di KPK kemarin menjadi kegiatan yang dapat membantu anggota KPK untuk lebih kritis. Hanya saja anggota KPK sendiri kurang mendukung hal ini.
Itulah hasil obrolan redaksi dengan Leksi. Hal yang menjadi pertanyaan apakah kurang mendukungnya anggota KPK terhadap kegiatan yang sifatnya membuka cakrawala kita tentang perburuhan itu karena kurang paham atau karena takut untuk membuat perubahan ?? Tetapi catatan penting dari Leksi adalah bahwa perubahan ke arah hubungan industrial yang adil hanya mungkin diciptakan oleh buruh sendiri !!!
Wednesday, October 11, 2006
SIAPA TAKUT !!!
Dimuat dalam buletin provokashi edisi 04/I/Juli-September 2001
Dalam edisi kali ini redaksi mengajak bincang-bincang bersama Bang Sebastianus, ketua KPK cabang Sidoarjo. Dalam kesempatan ini Pak Tua, panggilan akrap Bang Sebastianus bercerita tentang pengalamannya menjalani dinamika hidup di Surabaya yang keras.
Sebastianus namaku. Aku pergi meninggalkan rumahku di Flores tanpa sebuah perencanaan yang panjang. Kepergianku lebih merupakan bentuk pemberontakanku terhadap keadaan yang menekanku, jadi bukan karena suatu motivasi tertentu. Sejak aku masih SMP aku sudah jauh dari orang tua dan setelah lulus SMA tahun 1991 ingin sekali aku hidup merantau. Maka ketika aku mau diserahi tanggung jawab untuk turut mengatur keluarga, aku berontak. Tahun 1993 aku memutuskan untuk pergi dari rumah, tidak mau di kampung. Tetapi aku tidak merencanakan mau merantau ke Jawa atau Kalimantan. Pada orang tuaku hanya pamit bahwa aku merantau. Aku singgah di Sumbawa selama satu minggu. Kawanku menanyakan ke mana aku mau merantau ketika kami sampai di agen bis. Aku bilang “terserah saja” Aku tidak punya rencana. Saat itu ada dua pilihan Ujung Pandang atau Surabaya. Akhirnya temanku yang memutuskan dan membelikan tiket ke Surabaya. Dengan bekal Rp 200.000,- aku melanjutkan perrjalanan ke Surabaya.
Perjalananku ke Surabaya menjadi sebuah petualangan yang menarik bagiku, karena aku tidak tahu-menahu soal Surabaya namun berani untuk menjelajahinya. Sampai di Bungurasih (terminal bus Surabaya, red) aku bertanya sana-sini. Akhirnya aku bertemu dengan seorang ibu yang bercerita bahwa aku bisa bertemu dengan orang-orang Flores di daerah Sidoarjo. Tapi ibu itu mengajak aku untuk pulang ke rumahnya Lawang-Malang terlebih dahulu karena hari masih pagi, sekitar pukul 06.00. Di Lawang, aku dititipkan pada adiknya karena takut kalau nanti suaminya cemburu. Siang harinya aku diantar oleh ibu itu menuju Buduran-Sidoarjo. Di Buduran, kemudian aku tinggal bersama teman saya dari Flores. Tentu aku tidak dapat hidup, tanpa bekerja apalagi di kota Surabaya ini. Aku mulai berpikir soal pekerjaan. Kawanku mau menolongku dan dia mulai bertanya tentang surat-surat keterangan dari kampung. Hanya saja pada waktu itu aku tidak membawa surat apapun. Aku hanya membawa ijazah SD, SMP dan SMA yang aku miliki. Akhirnya dengan bekal seadanya itu, aku dicarikan pekerjaan.
Tahun 1993, pertama kali aku bekerja di PT Ratna Pura yang bergerak di bidang pengolahan kayu. Tanpa surat macam-macam, aku masuk dengan dibawa oleh kawanku yang bekerja di tempat itu. Ketika aku bekerja selama 3 minggu, aku sudah mulai merasakan beban yang berat. Tetapi aku tetap mencoba bertahan untuk mempertahankan hidup, uang bekalku tinggal Rp 60.000. Upah yang kuterima dari kerjaku sebesar Rp 1.950,- per hari. Aku terhibur bekerja di tempat ini karena banyak teman-teman perempuannya. Ketika hari raya aku mendapatkan THR sebesar Rp 18.000,-. Di perusahaan ini aku pernah juga kena SP karena aku sempat memukul teman. Enam bulan aku bekerja di tempat itu, aku terlibat dalam aksi buruh untuk minta kenaikan gaji menjadi Rp. 2.250,- per hari. Campur tangan militer pada waktu itu begitu kuat. Ketika aku memimpin aksi, aparat ikut masuk dalam urusan perusahaan. Pada saat proses dialog, aparat ikut duduk satu meja. Kalau pihak depnaker yang datang masih kuanggap wajar, tapi ini polisi dan tentara, apa urusan mereka? Kawan-kawan beraksi diam semuanya. Ternyata pihak perusahaan jengkel dan marah-marah, katanya “kalian ini demo-demo tapi sampai di sini diam semua”. Lalu aku ngomong, “Pak kalau bapak menghendaki kami bicara kami akan bicara, tapi sebelumya Bapak lihat nggak kenapa kawan-kawan di sini diam semua. Seharusnya ini menjadi pertanyaan buruk bagi bapak, kenapa saat ini mereka diam semua padahal kemarin-kemarin mereka lancar kalau bicara sama Bapak. Pak mereka diam itu karena mereka takut pada Pak polisi dan tentara yang ikut di duduk di sini. Maka kalau bapak menghendaki kami berani bicara, ya tolong Pak polisi dan tentara ini disuruh keluar saja”. Aku bilang begitu tentaranya marah-marah dan membentak-bentak aku. Dia bilang, “heh siapa namamu ? Kamu orang mana? Mana KTP-mu?” Aku menjawab, “lho Bapak tidak berhak nanya-nanya macam itu apalagi tanya KTP. Di sini Bapak adalah tamu dan saya di sini adalah anggota rumah tangga perusahaan ini, jadi bukan hak Bapak untuk tanya-tanya tentang KTP. Kecuali kalau saya berurusan di luar perusahaan ini mungkin Bapak punya hak untuk itu”. Akhirnya dari aksi ini adalah diputuskannya bahwa upah naik menjadi Rp 2250,- dan masa kerja empat bulan menerima gaji bulanan. Dalam aksi ini aku sempat ditegurkan oleh kawanku yang memasukkan aku di perusahaan “kenapa kamu ikut-ikut bicara?”. Aku menjawab “aku hanya memberitahukan apa yang menjadi keinginan teman-teman”. Selama setahun aku bekerja di tempat ini. Sampai kemudian aku ditawari oleh kawanku yang lain untuk menjadi satpam di sebuah restauran Pujasera di Surabaya.
Gaji menjadi seorang satpam lumayan. Sebulan aku mendapatkan sekitar Rp 135.000,- per bulan. Penghasilanku menjadi lumayan banyak, sebab selain gaji aku masih sering mendapatkan ceperan (tip, red) dari para tamu. Bosku memang tidak menghendaki kalau aku menerima tip dari para tamu. Tapi bagiku, mereka memberi tip adalah sebagai ungkapan terima kasih karena aku telah menjaga mobil mereka. Maka aku terima saja pemberiannya.
Tanggung jawabku sebagai seorang satpam memang sangat berat, karena menyangkut keselamatan para tamu dan keamanan restaurant. Setiap malam yang kuhadapi adalah para pemabuk yang berusaha masuk lingkungan restaurant tempatku bekerja. Pernah juga aku berselisih dengan bos karena dia sempat melontarkan kalimat bahwa aku bekerja di sini adalah untuk cari makan. Aku sangat tersinggung dengan perkataan itu. Aku datang merantau ke Surabaya ini bukan semata-mata hanya cari makan. Di Flores makanan cukup. Sifat emosionalku membuatku sangat marah sampai kupukul dia pakai senter. Aku suka memukul, tapi pasti disebabkan aku merasa pada sesuatu yang benar. Teman-temanku yang juga berasal dari daerah timur, yakni Ambon, Irian, Kupang mendukungku dalam kasus ini. Akhirnya aku dipanggil bos, dia minta maaf sambil ngasih uang Rp. 10.000,- Di tempat kerjaku ini aku mendapat banyak uang, tapi kemudian hidupku jadi tidak bagus karena kemudian aku menggunakan uangku untuk apa saja, ke hal-hal yang tidak bagus. Aku berhenti bekerja karena restaurant itu bangkrut. Dari sini aku mendapatkan pesangon Rp 50.000,. Aku mau menerimanya sebagi ungkapan penghargaanku pada pemilik restaurant. Kalau tempat kerjaku itu sebuah perusahaan pasti aku akan menuntut pesangon. Akhirnya, aku kembali menganggur selama satu bulan, tapi waktu itu aku berhasil memiliki tabungan 1,5 juta rupiah dari hasil kejaku sebagi satpam.
Kemudian aku mendapatkan pekerjaan dari tawaran seorang teman. Aku dibawanya untuk bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di maritivi (mebel yang terbuat dari besi atau kayu, red). Di tempat ini aku minta pindah sampai tiga kali. Semula aku ditempatkan di bagian pencelupan besi ke larutan HCL (Asam Clorida yang sifatnya sangat korosif, red). Larutan ini sangat berbahaya karena begitu kena di kulit pasti kulit mengelupas, kalau kena baju maka baju itu langsung bolong. Lenganku hancur dan luka-luka sudah penuh nanah ketika aku minta pada personalia untuk pindah bagian. Awalnya aku disuruh mengundurkan diri saja kalau tidak mau melanjutkan kerja dan akan diberi surat pengalaman kerja. Suatu tantangan yang kuberikan pada personalia, kalau aku diminta mengundurkan diri maka perusahaan harus mengganti kerugian padaku yakni 3 bulan gaji karena kontrakku 3 bulan. Akhirnya aku dipindah ke bagian lain. Di papan pengumuman tertulis : “Sebastianus dipindahkan di bagian asembling”. Aku pikir di bagian asembling itu mengerjakan apa ? Ternyata di bagian ini aku menjadi semakin ngeri. Yang aku lihat tempat itu adalah tempat penyampuran semen dengan pasir dengan peralatan raksasa yang bernama molen. Kulihat peralatannya, ada perangkat besi batangan yang siap nyabet apapun. Aku pikir, aku bekerja adalah untuk cari hidup bukan cari mati. Maka kuketuk lagi pintu ruangan personalia dan aku minta mengundurkan diri. Aku hanya bertahan selama 3 minggu dengan mendapatkan gaji Rp 4.250,- per hari tanpa uang makan, uang transport dsb.
Masa tidak punya pekerjaan membuatku mengiyakan saja ketika ada teman yang menawari aku untuk bekerja di sebuah proyek. Waktu itu proyek yang dikerjakan adalah pembangunan gedung BCA dekat pom bensin Jembatan Merah Plaza. Aku bekerja di bagian plamir (melapisi dinding sebelum mau dicat, red) dengan gaji Rp 7.500,- per hari tanpa uang makan dsb. Sebagai imbalannya aku harus terpaksa merelakan mataku kemasukan debu gosokan dinding. Akhirnya aku berpikir bisa-bisa mataku buta kalau terus-terusan begini, belum lagi celana yang kotor oleh debu susah dibersihkan. Pada saat terima gaji, aku pun berpamitan pada bos dan tidak kerja lagi.
Tahun 1995 atas jasa temanku, aku mendapatkan pekerjaan di PT PAR yang bergerak di bidang pembuatan kardus. Di tempat kerjaku yang sekarang, aku pun tetap masih menggunakan prinsip kalau aku benar maka aku tidak takut. Semula aku aktif dalam kegiatan persekutuan doa yang diadakan di perusahaan. Tapi lama kelamaan aku merasa bahwa aku tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kalangan buruh karena dalam persekutuan doa itu aku selalu diberi ajaran bahwa semua bisa diselesaikan dengan berdasarkan firman. Empat tahun aku bekerja di situ aku tidak tahu apa-apa. Maka kuputuskan aku untuk keluar dari kegiatan persekutuan doa. Pada suatu saat kawan-kawan menginginkan adanya SB, maka muncullah ide untuk membentuk Sarbumusi di perusahaan tempatku bekerja. Pada mulanya aku tidak setuju dengan pembentukan Sarbumusi karena membawa-bawa nama agama. Tapi kawan-kawan bilang bahwa agama tidak dimasukkan dalam organisasi ini, tapi oragnisasi ini lebih dipakai untuk membela buruh. Akhirnya terbentuklah Sarbumusi. Permasalahan pertama yang ditangani oleh Sarbumusi adalah desakan kawan-kawan menuntut pemberian THR sebesar 2 kali gaji pokok (UMR). Ini terjadi pada tahun 2000 yang lalu. Sebagai pemimpin aksi aku minta kawan-kawan untuk tidak main lempar-lemparan. Ternyata benar aksi ini aksi damai, tidak ada yang rusak. Tapi penyelesaian dari perusahaan cukup lama. Aku sebagai juru bicara kawan-kawan sempat diundang oleh pihak personalia di Hotel Utami. Aku bilang pada bos “persoalan buruh di selesaikan di depan teman-teman saja. Saya tidak mau kalau saya nanti diperlakukan seperti Marsinah!” Akhirnya tuntutan kami tercapai meskipun tidak seratus persen. Perusahaan menetapkan THR sebesar 1,5 kali UMR ditambah dengan bonus sebesar Rp 20.000 x setiap kelipatan 1 tahun masa kerja.
Saat ini aku baru merasa jengkel dengan SB di perusahaan tempatku bekerja karena SB di perusahaan tidak peka dengan permasalahan anggota. Ketika aku diskorsing oleh perusahaan pengurus SB-nya diam saja. Sebuah Serikat Buruh seharusnya memperjuangkan permasalahan yang dihadapi anggotanya. Aku diskorsing karena berbagai sikap dan tindakanku. Termasuk juga ketika aku mengikuti aksi satu Mei. Tapi yang paling utama dipakai alasan oleh perusahaan untuk menskorsing aku adalah ketika aku memukul pengurus SB di perusahaan yang tidak mau tahu terhadap keselamatan banyak orang. Pada saat itu sedang gencar-gencarnya demo Kepmenaker 150/2000. Demo buruh di daerah Sidoarjo sudah dapat dipastikan akan terjadi dengan keras. Aku sudah mencoba ngomong pada pihak perusahaan agar besoknya tidak usah kerja karena ada isu akan ada demo buruh Sidoarjo. Aku hanya berpikir tentang keselamatan perusahaan dan keselamtan kawan-kawan. Perusahaan sudah menyetujui, tiba-tiba dari pengurus SB justru membuat surat edaran supaya besoknya tetap bekerja. Aku sangat marah dan kupukul dia. Akhirnya aku kena skorsing. Sampai saat ini SP-ku sudah numpuk sampai 8 kali. Bahkan perusahaan memintaku untuk mengundurkan diri dengan tawaran pesangon 20 juta. Aku menawar, kalau perusahaan mau mem-PHK aku, aku minta pesangon 40 juta. Nah geleng-geleng kepala kan !!!!
Begitulah sikapku sebagai buruh selama ini. Dari pengalamanku ini, aku punya pemikiran, baik kalau KPK di cabang ada kegiatan dialog bersama kawan-kawan SB lain. Dengan demikian kita bertambah wawasan dan pengetahuan. Tapi kegiatan ini jelas cukup membutuhkan biaya dan apakah teman-teman KPK mempunyai keberanian juga menentang hal-hal yang tidak benar yang terjadi di perusahaan. Kalau aku sendiri, aku akan tetap berpihak pada perjuangan buruh. **
Sunday, October 08, 2006
Buruh Terjajah di Negerinya sendiri
Bicara tentang kemerdekaan, bagi kita tentu terpikir juga tentang kemerdekaan Buruh. Hari kemerdekaan yang dianggap sakral oleh seluruh rakyat Indonesia ternyata tidak banyak memberikan arti bagi Buruh. Sejak era pemerintahan Sukarno sampai era Suharto, Buruh selalu menjadi kelompok yang termarginalkan. Reformasi yang sudah digulirkan beberapa tahun yang lalu mungkin hanya isapan jempol saja soal kemerdekaan buruh. Dalam bidang apapun bisa dikatakan bahwa Buruh masih terkekang. Ketidakmerdekaan Buruh itu terutama dalam hal mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat. Walaupun ada Permen No 05 tahun 1998 dan UU No 21 tahun 2000 tentang SP/SB, tapi pada prakteknya kedua aturan tersebut pada prakteknya masih terdapat banyak pembatasan-pembatasan.
Kemerdekaan seharusnya dapat memberikan kebebasan pada siapa saja (dalam konteks ini termasuk juga Buruh). Hal yang sangat mendasar yang dibutuhkan oleh buruh adalah kemerdekaan untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Maka hal ini harus senantiasa diperjuanglkan oleh Buruh dan harus senantiasa menjadi perhatian bagi pemerintah dalam setiap produk hukumnya. Dengan semakin banyak kesempatan untuk berkumpul, berinteraksi dengan sesamanya maka akan semakin banyak pula persoalan yang bisa dipelajari oleh Buruh, sehingga Buruh akan tahu tentang hak-haknya dan berani untuk menuntut kembali hak-haknya yang seringkali dirampas oleh pemodal.
Hanya saja sampai saat ini, jam kerja yang sangat panjang yakni 40 jam seminggu sudah cukup melelahkan bagi Buruh dan membatasi kesempatan Buruh untuk berkumpul. Apalagi jam kerja tersebut masih ditambah dengan adanya lembur-lembur yang dipaksakan oleh pengusaha. Lebih parah lagi pemerintah juga melarang Buruh untuk berkumpul dan berserikat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat pun kurang mendukung perjuangan buruh ini, misalnya mereka tidak simpati bahkan cenderung memusuhi kegiatan Buruh/ Serikat Buruh. Hal ini menjadikan Buruh semakin terpuruk kondisinya.
Kondisi terpuruk tersebut tentu tidak akan berubah jika Buruh tidak memperjuangkan perubahan ke arah yang lebih baik. Maka untuk mendapatkan kemerdekaannya kembali, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terutama oleh kawan-kawan Buruh sendiri. Pertama, kesadaran kaum Buruh untuk bangkit dan saling berinteraksi. Dengan demikian dapat diperoleh satu solidaritas bahkan satu komunitas besar dalam memperjuangkan dan memperoleh kembali hak-haknya. Kesadaran akan persamaan nasib dalam diri setiap Buruh akan dapat menimbulkan rasa kebersamaan. Kedua, kebebasan yang seluas-luasnya dari pemerintah untuk kaum Buruh. Selain Permen No 5 tahun 1998 dan UU 21 tahun 2000, harus ada produk hukum yang jelas soal kebebasan Buruh. Karena kedua aturan itu sangat tidak memihak Buruh.
Kedua hal tersebut mungkin kita menganggapnya hanya sebagai masalah kecil yang kita semua tahu. Tapi yang paling penting adalah keberpihakan pemerintah terhadap kaum Buruh. Begitu juga dengan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah harus selalu berpihak dan tidak merugikan Buruh. Pemerintah harus mulai mengakui bahwa Buruh adalah bagian dari rakyat yang harus diperhatikan. Sejarahpun mengatakan bahwa salah satu pembentuk negara ini yang ikut berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan sebagian besar adalah kaum Buruh.
Ketika Buruh sudah besar dan diakui salah satu kaum/ klas dalam masyarakat dan sudah mempunyai identitas yang jelas maka disitulah kebebasan akan dapat diharapkan. Wakil Buruh di parlemen harus besar, agar dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam segala hal. Sekarang persoalannya adalah kita harus bertanya pada diri kita sendiri. Apakah kita berani dan mau berubah untuk mencapi semua itu. Kebebasan mutlak dibutuhkan !
Wednesday, September 27, 2006
PERKEMBANGAN PERJUANGAN BURUH
Dalam analisa lebih jauh terhadap permasalahan yang dialami buruh, kita akan menemukan pokok permasalahan tersebut. Sistem yang diterapkan di
Pada hakekatnya negara terdiri atas wilayah, rakyat dan pemerintahan. Dengan demikian peran rakyat adalah sesuatu yang vital dalam berdirinya sebuah negara. Di Indonesia disebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Dengan demikian rakyat memiliki kekuasaan untuk berperan mengatur negara. Dalam hal ini berarti semua rakyat
Hanya saja pada kenyataannya sistem di
Sementara itu di kalangan rakyat bawah semakin dibodohi baik melalui sistem pendidikan yang ada, media komunikasi (mis :TV), slogan-slogan dsb. Dengan pembodohan tersebut rakyat semakin tidak tahu menahu tentang hak-haknya. Bahkan dengan adanya intimidasi maka rakyat menjadi semakin takut untuk menuntut haknya. Dengan kondisi yang demikian ini maka rakyat semakin tidak mempunyai kekuasaan untuk berperan serta dalam menentukan kebijakan negara. Maka situasi yang terjadi adalah langgengnya praktek ketidakadilan di
Buruh merupakan bagian masyarakat yang paling rawan terkena praktek ketidakadilan. Banyak sekali kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur bidang perburuhan. Hanya saja pada kenyataannya buruh belum mempunyai porsi kekuasaan yang berimbang untuk turut serta dalam proses penentuan kebijakan tersebut. Hal ini terlihat sangat ironis sekali karena pihak yang terkena kebijakan tetapi tidak berperan dalam proses penentuan kebijakan tersebut. Kalupun ada perwakilan buruh dalam pemerintahan, tapi perwakilan tersebut hanya menjadi “boneka” untuk legitimasi saja. Dengan demikian pemerintah masih tetap menjadikan buruh sebagai obyek dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannnya.
Ketika kesadaran buruh akan perjuangannya semakin berkembang, dapat kita lihat bahwa perjuangan buruh pun berkembang pula. Kawan-kawan buruh tidak saja mempersoalkan nilai nominal dari upah, tetapi perjuangan mereka sudah menuntut ada suatu perubahan yang mendasar yaitu perubahan sistem. Misalnya saja ketika kemerdekaan mereka untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat terancam dengan hadirnya RUU SP/SB yang sekarang sudah diundangkan menjadi UU NO 21/2000, kawan-kawan buruh sudah mencermatinya dan membuat gerakan untuk mencegah lahirnya sarana penindasan tersebut. Sebagai contoh lain, penyikapan terhadap UMR oleh kawan-kawan jaringan SB dan Ornop Surabaya lebih mengarah pada perubahan sistem yang digunakan dalam proses penentuan UMR tersebut dan bukan lagi semata-mata nilai besarnya nominal. Nilai nominal yang muncul dalam tuntutan bertolak dari analisa terhadap sistem yang dipakai dalam proses penentuan UMR.
Perkembangan perjuangan kawan-kawan buruh tidak terlepas dari proses belajar terus menerus dalam mengkritisi setiap kebijakan yang ada. Dengan demikian buruh semakin sadar akan hak mereka untuk merebut kembali kuasanya untuk turut mengatur negara. Hanya dengan demikian buruh akan mengembalikan martabat dirinya yang selama ini dibeli dengan harga yang sangat murah atau bahkan tak jarang martabat mereka diinjak-injak. Selamat berjuang kawan….!!!
-nurhayati-